Lihat ke Halaman Asli

Polemik Anas dan Kerinduan Falsafah Leluhur

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terlepas dari singkarut dunia politik  tanah air yang membekap Anas, politisi muda ini secara tidak langsung telah mengingatkan kembali masyarakat akan nilai adiluhung filsafat peradaban lokalitas yang lama terbuang karena arus modernitas yang memalsukan ruang batin ke dalam dunia material an sich.

Anas memulai perlawanan bawah tanahnya dengan mengeluarkan filsafat lokalitas, yaitu ungkapan falsafah politik Sengkuni dan terakhir dengan ungkapan falsafah, nabok nyilih tangan. Meski hanya tampak melontarkan hanya beberapa barisan kalimat, nyatanya memiliki efek yang sedemikian kuat melebihi singkatnya bahasa. Sebagaimana diketahui, Anas memang selalu tampil dengan sikap yang tak terlalu mengumbar kata-kata dan penjelasan.

Sikap yang demikian, justru menambah power kharisma kata-kata seorang Anas di mata lawan. Seakan-akan, semua penjelasan dan fakta yang banyak tersaji langsung habis ditelan oleh hanya beberapa barisan kalimat. Penggunaan filsafat Jawa oleh Anas, nyatanya seperti membangunkan kesadaran kembali masyarakat tentang terlalu banyaknya susunan penjelasan politik yang terkesan mubazir dan tak menyimpan makna. Terlalu banyak mengumbar kalimat, namun tidak memerlihat makna yang seksi.

Bisa kita lihat, bagaimana media-media memberikan tafsiran tersirat masing-masing tentang di balik kata-kata ungkapan Anas yang dibungkus falsafah Jawa kuno. Boleh jadi Anas tidak menampilkan banyak fakta akan bagaimana sebenarnya realitas riil akan dunia politik yang menimpa dirinya, namun penggunaan falsafah Jawa justru menimbulkan penjabaran lebih banyak lagi fakta yang diulas oleh banyak media.

Fenomena Anas dan kekuatan falsafah Jawa yang digunakannya terbukti efektif menghimpun perhatian masyarakat luas, supaya mengkaji lebih mendalam di balik fenomena yang sedang terjadi. Kenyataan ini, sesungguhnya sedang menggambarkan bentuk kerinduan masyarakat akan penjelasan yang masuk akal dan bisa diterima akal sehat. Penjelasan yang tidak berbelok-belok atau diputar-putar sedemikian rupa, sementara secara fakta riil (kalimat) tidak menyajikan banyak fakta yang sebanyak (kalimat) yang dikeluarkan.

Kerinduan masyarakat tersebut, sejatinya bergerak di alam bawah sadar. Mereka merindukan kemurnian, kepolosan, dan ketulusan sikap para pemimpin masa kini. Sebuah kerinduan yang lama terpendam akibat pergeseran nilai lokal dengan dengan nilai global bernama modernitas.

Modernitas telah menggelamkan fakta-fakta riil, ruang batin, dan kedalaman rasa, dan menumpukkannya dengan realitas palsu bernama kesenangan materil. Masyarakat disuguhi kepalsuan melalui media-media, baik cetak maupun elektronik. Kepalsuan yang menenggelamkan aspek emosional dan spiritualitas. Manusia digiring menuju kesadaran permukaan, kesenangan pada benda-benda, teknologi,  hiburan-hiburan, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya. Mereka dipisahkan dengan ruang batin dan ruang spiritualitasnya.

Terlepas dari baik-buruknya Anas terkait praktek korupsinya, ia telah menyadarkan kembali pentingnya memiliki kumpulan bahasa yang berbobot, cerdas, masuk akal, dan lepas dari kunkungan bahasa-bahasa mubazir. Masyarakat sedang jenuh dengan kumpulan bahasa politis, terlalu banyak menyimpan kepentingan, dan selalu lepas maksud penjelasan yang sedang ditunggu-tunggu. Bahasa-bahasa yang tidak konkret dan berputar-putar, namun tidak menyajikan substansi jawaban sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline