Lihat ke Halaman Asli

Lenyapnya Pesawat Malaysia dan Geliat Generasi Emas

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Perkiraan Lokasi Terakhir Pesawat MH370, Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Muncul banyak dugaan soal lenyapnya pesawat bernomor penerbangan MH370 ini. Analisa paling menarik terkait itu menurut saya adalah analisa warga Kompasiana.Mereka jauh dari gosip dan tradisi buruk saling menjatuhkan.

Ini merupakan fenomena fantastis setelah mati surinya peradaban kaum muda Indonesia pasca runtuhnya Rezim Soeharto. Seperti kita tahu, lahirnya era reformasi yang digelindingkan kaum muda dengan taruhan nyawa, nyatanya kita malah diperlihatkan makin mirisnya perjuangan kaum muda untuk bangsa dan rakyat yang melahirkannya.

Betapa tidak, perjalanan reformasi justru menampilkan sosok beringas dan hilangnya nilai-nilai di kalangan pewaris bangsa masa depan ini. Tawuran di kalangan mahasiswa dan pelajar, merebaknya video-video asusila yang bahkan menjangkiti anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Belum lagi soal tindak kriminalitas, senang copy paste maupun contek-mencontek, dan lain sebagainya yang lebih banyak menyiratkan makin suramnya daya intelektualitas kalangan terdidik muda kita.

Kasus terakhir, juga merebak kasus-kasus yang mirisnya melibatkan tindak pembunuhan oleh urusan asmara dan gejolak muda yang labil. Posisi paling parah adalah banyaknya kalangan muda yang berkecimpung di dunia politik yang justru terlibat tindak korupsi.

Dalam arti, idealisme generasi muda makin dipertanyakan, apakah nantinya setelah mereka berada di tampuk kekuasaan dan kepemimpinan, mereka juga akan sekokoh semasa perjuangan masa-masa Mahasiswa militasi dan idealismenya.

Misteri Pesawat Malaysia dan Warga Kompasiana

Kabar keberadaaan pesawatpabrikan Boeing 777-200, hingga kini masih ditelan misteri. Kemudian, muncul fakta adanya kemungkinan pesawat tersebut dibajak teroris, dengan ditemukannya dua penumpang yang ternyata menggunakan paspor palsu. Media-media pun sontak langsung menyantap isu panas tersebut.

Namun demikian, dalam beberapa tulisan Warga Kompasiana, mencoba untuk tidak menelan mentah-mentah fakta tersebut sebagai aksi terorisme. Alih-alih terpengaruh berbagai isu dan hebohnya fakta yang bisa saja masih perlu diakurasi, warga Kompasiana secara dinamis mengemukakan gagasan-gagasan orisinilnya demi menyikapi fenomena-fenomena mutakhir.

Analisa Pakde Kartono misalnya yang mengatakan:

Jika memang 2 penumpang ternyata menggunakan paspor atas nama Luigi dan Chriatian? Apakah bisa dipastikan kedua penumpang tersebut adalah teroris? Tunggu dulu, jangan semudah itu mengambil kesimpulan.

Di Indonesia sendiri, telah ada beberapa kasus paspor ‘asli tapi palsu’ yang ternyata sukses digunakan oleh beberapa orang untuk bepergian lintas negara, dan mereka bukan teroris. Nah, 4 contoh penggunaan paspor ‘asli tapi palsu’ tersebut bisa memberikan gambaran jelas, bahwa belum tentu penumpang gelap yang memakai paspor atas nama Luigi dan Christian adalah teroris dan menggunakannya untuk aksi terorisme. Mereka punya alasan masing-masing mengapa menggunakan paspor ‘asli tapi palsu.’

Saya bukan menutup mata terhadap kemungkinan ada aksi terorisme, tapi jangan juga mencari mudahnya saja dengan mengatakan penyebab kecelakaan adalah karena aksi terorisme, padahal yang sebenarnya adalah Hal teknis seperti sistem di pesawat yang tidak berfungsi, atau non Teknis seperti pilot yang ketiduran atau tidak fit bekerja karena kebanyakan hisap Shabu seperti pilot Lion Air yang beberapa waktu lalu di tangkap.

Warga Kompasiana lainnya adalah Ira Oemar. Dalam catatannya ia menyoroti pola komunikasi dan mekanisme kendali pemberitaan yang dilakukan pihak Malaysia agar pemberitaan tidak berkembang liar, dengan konteks Indonesia:

Malaysia tetap melakukan apa yang seharusnya dilakukan terhadap keluarga para penumpang yang berduka, namun tidak menambah kepanikan dengan memastikan bahwa semua informasi hanya melalui satu pintu, agar tak terjadi kesimpangsiuran berita.

Bandingkan dengan di Indonesia dalam beberapa kali kecelakaan pesawat. Ketika pesawat Adam Air hilang kontak pada awal tahun 2007 lalu, sehari setelahnya beredar issu ditemukannya asap dan puing pesawat di suatu titik di bukit tertentu. Semua ikut heboh, tak kurang media massa pun memberitakan. Ternyata issu itu sama sekali tidak benar bahkan menyesatkan dan membuat penyelidikan dan pencarian menjadi tidak fokus.

Jangankan kecelakaan pesawat, di Indonesia, kecelakaan kereta api saja bisa memicu beragam spekulasi dari yang masuk akal sampai yang bercampuraduk dengan halusinasi bahkan klenik. Media massa mewawancarai siapa saja, tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensi nara sumber.

Analisa lain datang Hendi Setyawan. Menurut Setyawan, berkaca dari kasus lenyapnya Pesawat Malaysia tersebut,betapa pentingnya petugas imigrasi menjaga kewaspadaan dengan tidak membiarkan sesuatu yang mencurigakan. Sebab, catat Setyawan, bisa saja terjadi hal yang tak diinginkan bagi keselamatan penerbangan maupun bagi keamanan negara yang bersangkutan.

Analisa menarik juga ditulis oleh bapak Publik Kompasiana, yaitu Bapak Prayitno Ramelan. Dalam catatan beliau, di antaranya beliau menulis:

Pelajaran bagi pelaku di dunia penerbangan serta otoritas bandara (PAP), agar mewaspadai dan kembali melakukan pemeriksaan sekuriti penerbangan. Pengecekan penumpang harus dilaksanakan sesuai prosedur. Apabila analisis penulis benar, maka pengamanan bandara harus dinaikkan dengan serius. Aksi terorisme terus mengancam dan bukan tidak mungkin akan dapat mengancam penerbangan kita juga. Mereka terus memonitor, dimana ada kelemahan dan kerawanan, disitu akan memanfaatkannya. Terbukti otoritas dan sekuriti Malaysia sudah kebobolan. Semoga bermanfaat.

Analisa Kompasianer lainnya tentunya masih banyak lagi. Tentu tak bisa dimasukkan semuanya. Yang pasti, semua catatan-catatan analisa tersebut telah mencerminkan bertemunya banyak gagasan, banyaknya analisa dan beragamannya kesimpulan. Yang pada gilirannya, menciptakan medan energi berbagi wawasan dan kematangan berinteraksi, tak hanya bersifat nasional, juga secara internasional.

Tak hanya oleh para sesepuh, dan ilmuwan, tetapi juga oleh kumpulan generasi muda yang sedang belajar memahami identitas bangsanya di tengah-tengah isi dunia secara global.

Menaikkan Kelas Kompasiana

Kompasiana sebagai media yang dikenal sebagai media blog keroyokan, terbukti melahirkan semacam Kawah Candradimuka bagi munculnya dialektika yang sehat dan dapat memajukan dan mempercepat proses daya intelektualitas bangsa, terutama generasi muda.

Melalui Kompasiana, para pembacanya digiring agar tidak terpaku pada satu asumsi ketika muncul fenomena atau kasus tertentu sehingga tidak mudah reaktif dan cepat (gegabah) serta-merta mengambil kesimpulan. Terlebih, sebuah asumsi atau sudut pandang dalam menilai sesuatu tidak bisa hanya berdasarkan semata asumsi belaka. Akan tetapi, harus didasarkan pada fakta dan teori yang tepat dan benar sehingga tidak asal berpikir, berpendapat dan memunculkan sebuah kesimpulan membabi buta.

Dalam prosesnya, apabila terdapat warga yang hanya bermodal asumsi liar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, para warga lainnya mengingatkan dan mengajak berdialektika lebih lanjut dan mendetail, sehingga sebuah gagasan benar-benar tak hanya bersifat aktual, tetapi juga bersifat faktual dan ilmiah.

Inilah cara menaikkan kelas Kompasiana. Artinya, Kompasiana tak hanya menjadi ruang bebas berpendapat dan mengemukakan wawawasan-wawasan. Akan tetapi, ia juga siap menerima dan berjiwa besar untuk mendengar, saling koreksi, dan sama-sama mendialogkan apa yang digagas, dan dipikirkan. Siap untuk diuji kebenaran-kebenaran yang dikeluarkan. Mengutip tokoh ilmuwan besar kita, Kuntowijoyo, berawal dari pengetahuan menuju ilmu. Dalam arti, kita tak hanya sekedar tahu, tetapi juga paham betul dengan apa yang kita kemukakan.

Dalam konteks kemajuan generasi muda, tentu saja, proses dialektika warga Kompasianer yang beragam tersebut, akan membuka ruang untuk saling meneliti dan saling mengkaji fakta-fakta yang dijadukan sehingga menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Kompasiana selanjutnya akan menjadi semacam Kawah Candradimuka-nya generasi muda belajar menelaah dan menimba gagasan-gagasan dan cara melontarkannnya dengan tepat dan baik.

Maka, dalam hal ini, Kompasiana perlu terus merawat dan memberi rangsangan (stimulan) atas potensi besar terpendam tersebut untuk menjadi Lumbung Emas lahirnya generasi-generasi emas Indonesia. Demi melahirkan generasi-generasi yang saling gotong-royong mewujudkan Indonesia yang mandiri, berdikari dan kuat kualitas peradabannnya.

Bagaimana bangsa ini menjadi besar, jika generasi mudanya satu sama lain, kerap salah paham dan salah sangka satu sama lain? Karena sebab kurangnya saling berinteraksi pemikiran satu sama lain, yang terpaut jarak yang luas di berbagai belahan ribu pulau? Juga terbentuk oleh perbedaan etnis, agama, suku-bangsa maupun bahasa dan budaya?

Dan Kompasiana, mampu merekatkan dan menipiskan jarak, ruang dan waktu tersebut. Semua kalangan bertemu dan saling berbagi pemikiran. Saling mempertemukan titik temu masing-masing dalam kebersamaan yang kadang salah paham, karena berbedanya cara berkomunikasi, cara bersikap, juga cara memahami jalan hidup.

Salam Cahaya ...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline