Lihat ke Halaman Asli

AirAsia QZ8501: Fenomena Berkelanjutan yang Harus Diakhiri

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419970383706265620

Hari-hari ini menjadi catatan paling mendebarkan dan mengharukan di tanah air. Kembali terjadi musibah pesawat terbang untuk yang kesekian kali, mulai dari Adam Air, Sukhoi, dan rentetan kecelakaan lainnya, baik di darat, udara maupun di laut. Pak Presiden, ini adalah saat kita harus belajar tiarap. Ya berteriap, Pak Presiden...

Mengapa saya langsung sebut Pak Presiden? Karena beliau adalah komandan tertinggi kita saat ini. Beliau adalah pusat dari semua pusat napas bangsa. Sebagai pusat, maka setiap deru dan detakan napasnya bakal memberi gema ke seluruh penjuru Nusantara.

Sebagaimana pernah beliau sampaikan tentang falsafah kepemimpinannya untuk para punggawa daerah, yang jika tak salah, beliau mengatakan, barangkali saya tidak hadir, tetapi kebijakan saya akan langsung menghampiri di kantor Anda. Ini adalah kalimat sederhana, namun cukup menembus getarnya hingga ke pelosok.

Kenapa harus tiarap? Apakah itu pertanda menyerah? Tidak. Bukan begitu, dan tidak seperti itu. Tiarap yang dimaksud adalah memimpin secara bersama-sama untuk meniarapkan segenap dan keseluruhan egoisitas kedirian. Yang selama ini pernah tumbuh dan menggelora ke mana-mana.

Mari sama-sama meniarapkan kepentingan-kepentingan individual, kelompok, masyarakat dan seluruh elemen bangsa. Dan, meleburkannya dengan kepentingan bersama. Kepentingan untuk membangun, memberdayakan dan memajukan bangsa ini dengan melibatkan ritual dari hati ke hati.

Mari sejenak mengistirahatkan logika, emosi dan kemudian mengheningkan cipta kepada yang Mahakuasa. Agar bangsa ini mampu merasakan petunjuk dan bimbingan yang Ilahi. Yang Maha Rahman dan Rahim. Dan bergerak sesuai dengan napas-Nya yang agung.

Agar hati segenap penghuni tanah Nusantara ini tersambung dengan cahaya. Cahaya yang mampu menerangi kebijaksanaan ke penjuru negeri. Agar tanah, udara dan lautan bergetar dan menggemakan dzikir ke hadirat yang Maha.

Agar kesadaran kita semua mampu leluasa bergeser. Bergeser pada inspirasi-inspirasi yang mampu menjadikan bangsa ini bergerak pada jalurnya, sebagaimana menjadi cita-cita pendiri bangsa. Dan kemudian mampu menggerakkan jiwa raga anak-anak bangsa untuk saling memperbarui diri. Memperbarui semangat. Memperbarui etos kerja. Memperbarui sikap dan gaya hidup yang lebih baik.

Pak Presiden, meski catatan ini hanya punya peluang 0,0% engkau baca, tetapi inilah isi halaman hatiku. Aku tak mengharap engkau membacanya. Aku hanya ingin menggurahkan halaman demi halaman hatiku. Barangkali mampu menenangkan hatiku.

Bahwa, sebagaimana kuyakini dalam firman-Nya, yang aku tahu begitu lantun dan gema disyiarkan Presiden pertama kita, Bung Karno, bahwa Tuhan hanya akan mengubah keadaan, jika sekiranya kita sendiri mau membangun kehendak dan kesungguhan untuk mengubahnya.

Kurasa Bung Karno sangat benar. Yang bahkan ia sangat percaya, sepuluh pemuda saja sudah cukup untuk bangkit dan membangun bangsa. Setiap yang masih bersemangat untuk berubah, maka ia akan menghasilkan perubahan, meski mungkin sangat kecil.

Perubahan dari sikap dan gaya hidup dari yang sudah usang dan tak teratur di masa-masa terdahulu yang terus dibangun dengan susah payah oleh para pemimpin sebelumnya setelah masa penjajahan, menuju sikap dan gaya hidup yang lebih bijak, disiplin, tertib dan visioner di masa kemerdekaan. Menjadi makmur, berbahagia dan penuh keberkahan.

[caption id="attachment_387342" align="alignnone" width="800" caption="deaslam.net"][/caption]

Sudah. Itu saja, Pak Presiden. Selamat bertugas. Terima Kasih ...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline