Lihat ke Halaman Asli

Imam Tamaim

Writer. Editor. I Live in Jakarta.

Bintang di Atas Alhambra: Mimpi yang Menjadi Nyata

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13879823891717526380

Meski buku ini dikategori sebagai novel oleh penerbitnya, tapi saya kira isinya tidak benar-benar novel. Tidak semuanya fiksi. Mungkin lebih banyak kisah nyata. Bahkan saya mengira, tokoh utama dalam novel ini, Muhammad Syarip alias Iip, adalah sosok penulis itu sendiri.

Jadi, kalau di sampul belakang buku ini Komaruddin Hidayat, rektor UIN, lantas menyebut, “buku ini harus dibaca bagi yang ingin menghadirkan mimpinya dalam kehidupan nyata,” saya kira itu pernyataan yang pantas. Sebab, sekali lagi, meskipun berbentuk novel tapi kisah dalam buku ini tidak sepenuhnya imajinasi. Sebagian besar isinya malah kejadian nyata yang “menimpa” seorang anak kampung dari kaki gunung Ceremei Jawa Barat itu.

Iip adalah anak kampung di sebuah negara di mana pendidikan masih seperti berlian, terasa amat mahal. Ia tidak pernah membayangkan kaki yang terbiasa berjalan di galengan empang yang becek saat menuju sekolah, akan berpijak di Brunswick, sebuah kota di utara Melbourne untuk kuliah S2 lalu berkelana ke benua Eropa menyelesaikan tesisnya. Bahkan, ketika sampai di gerbang istana Alhambra di Granada, anak kampung ini masih belum percaya atas suratan nasib yang tengah “menimpanya”.

Semua mimpi itu bertahun-tahun lalu telah digantungkan di sudut kamar pesantren reyot di kampung Karangtawang. Mimpi yang tidak sederhana bagi seorang santri pesantren yang keseringan makan nasi liwet, ikan asin dan sayur kangkung, yang kalau sedang kepepet senjata pamungkasnya haos-haos atau jampe-jampe.

Bertahun-tahun pula mimpi yang apinya disulut oleh Kang Hafid itu terus ia pelihara. Kang Hafid adalah salah satu alumni Karangtawang yang berhasil kuliah ke luar negeri dan menjadi dosen di Jakarta. Pada suatu malam, Iip membisikkan mimpinya pada rasi bintang layang-layang, suatu saat ia harus memijakkkan kakinya di lain benua, dan akan memandangi gugusan bintang itu dari sebuah gedung atau bukit di belahan bumi lain. Ah...betapa indah.

“Cerita Kang Hafid tiba-tiba menjelma ajimat atau haos-haos yang sesungguhnya. Semenjak hari itu, aku telah tersihir oleh semangat dan cita-cita menggebu untuk bisa melihat bintang-bintang dari tempat yang jauh dari tanah leluhurku.

Ya, aku sudah menggantungkan mimpiku setinggi langit. Kelak, aku akan melihat bintang itu dari langit Mekah, Kairo, atau bahkan Leiden!” (hlm. 31)

Bertahun-tahun kemudian, meski bukan dari Mekah dan Kairo, benar saja ia dengan mantap memandangi rasi bintang layang-layang dari balik jendela sebuah apartemen di Brunswick, Melbourne, Australia, tempat yang terpaut jarak ribuan kilometer dari Karangtawang. Kilaunya tetap sama seperti ketika ia memandanginya dari balik dinding belakang pesantren yang berlumut di kaki gunung Ceremai. Demikian juga saat kemudian ia memandangnya dari sebuah bukit di Granada, tepat di depan istana Alhambra.

Iya. Mimpi, selain harus ditekadkan juga harus selalu dipelihara. Begitulah yang telah dilakukan anak kampung ini. Memelihara mimpi adalah menyimpan geloranya dan tak pernah lelah mengupayakannya.

“Hidup adalah kesetiaan kita pada proses. Kita tidak boleh ditaklukan nasib! Usaha dan keuletan bisa mengalahkan jalan Tuhan!” (hlm. 147).

Seperti saya katakan di awal, meski novel, buku ini tidak benar-benar novel. Oleh karena itu, sesekali kita akan menemukan materi-materi kuliah hukum atau sejarah. Tentu ini informasi berharga bagi siapa pun yang tengah mempelajari ilmu hukum atau sejarah. Meski kadang penyampaiannya terkesan kaku untuk ukuran sebuah novel, tapi tak mengurangi keasyikan membacanya.

Misalnya dialog ini, yaitu saat Iip menjelaskan kepada sahabatnya, Lisa, perempuan Cile yang berdarah Spanyol.

“Yang menarik, Lisa, ketika kapal-kapal dagang dari Belanda di bawah bendera VOC berlabuh di Indonesia, saat itu ternyata mereka belum benar-benar merdeka dari Spanyol. Kapal-kapal VOC menjalankan operasi dagang negeriku sejak 1602. Hingga tahun 1800-an, VOC adalah kongsi dagang paling besar dan kuat di dunia. Hampir satu juta orang Belanda dan Eropa dikirim untuk menjadi pegawai VOC. Mereka memiliki hampir lima ribu kapal dagang yang tersebar di seluruh Asia, terutama di Nusantara, wilayah yang sekarang menjadi Indonesia.” (hlm. 249).

Tentu saja, sebagaimana lazimnya novel, ada bagian-bagian cerita yang cukup mampu melarutkan emosi kita ke dalamnya. Soal repotnya sang tokoh menghadapi kelahiran anak pertama misalnya, sebagai pasangan muda melahirkan dan mengurus jabang bayi di negeri orang tanpa sanak dan saudara tentu bukan persoalan mudah. Atau soal kerja keras sang tokoh memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjadi kuli buka-tutup di pasar Victoria. Semua diceritakan dengan detail luar biasa.

Bagian lain yang juga menarik adalah kekonyolan khas anak kampung yang terpaksa bercelana kolor ria dari Utrecht ke Leiden gara-gara lupa bawa kunci apartemen ketika keluar untuk membuang sampah. Sial, pintu apartemen yang baru sehari ditinggalinya itu dilengkapi kunci otomatis yang mengunci sendiri saat ditinggal penghuninya. Bagian ini tentu bagian yang paling kocak dan menggelikan menurut saya. Kalau novel ini difilmkan, mungkin bagian ini yang bakal paling banyak mengundang tawa.

Di atas semuanya, saya kira, di antara kunci keberhasilan penulis menyuguhkan cerita luar biasa dalam novel ini, karena ia berhasil bercerita dari hati. Mungkin—tanpa bermaksud membanding-bandingkan—seperti novel fenomenal “Laskar Pelangi”, konon Andrea Hirata awalnya menulis cerita hanya untuk menghadiahi gurunya, Bu Muslimah.

Barangkali Ang Zen pun demikian. Mungkin, sekali lagi mungkin, rangkaian kisah yang akhirnya menjadi novel “Bintang di Atas Alhambra” ini awalnya hanyalah catatan harian saja. Setahu saya, penulis ini sejak di Pesantren telah rajin menulis catatan harian.

Mungkin saja awalnya catatan-catatan kisah ini sekadar diniatkan menjadi kenang-kenangan bagi anak-anak dan istrinya. Dan, kalau kemudian catatan-catatan itu berhasil diterbitkan, dibaca, dan menginspirasi banyak orang, barangkali itu sudah menjadi takdirnya. Bagi saya, setiap karya itu punya takdir sendiri-sendiri, dan catatan-catatan kisah Ang Zen ini sedang berjalan meniti takdirnya, entah akan sampai di mana.

Judul Buku: Bintang di Atas Alhambra

Penulis: Ang Zen

Penerbit: Bunyan, 2013

Halaman: 355

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline