Kebakaran hebat terjadi di salah satu rumah di distrik Alasta dengan menewaskan dua korban jiwa. Setelah dua jam usaha pemadaman, api berhasil ditaklukan dan polisi segera menginvestigasi TKP. Ditemukan dua jasad yang hangus terbakar di halaman belakang rumah dengan sebuah gelang ber—Bzztt bzzztt
Dion keluar dari dapur melewati tv di ruang tengah setelah selesai sarapan. "Haih, lagi-lagi berita ini. Gak cuma artis, ternyata kebakaran bisa naik daun juga."
Tik! Dion mematikan tv usang nan bising itu karena sinyalnya yang tidak pernah bagus. Jam dinding terus berdenting menunjukan pukul 6.15 pagi.
"Dika! Cepet makan sarapanmu atau aku tinggal!" seru Dion yang duduk di teras untuk memakai sepatunya.
"Iya bawel!" Dika, adiknya yang dua tahun lebih muda, buru-buru turun dari kamarnya di lantai atas menuju meja makan, menggigit sebuah roti lapis lalu membawanya ke teras. Setelah Dika keluar, Dion mengunci rumah dan baru saja akan keluar pekarangan ketika ia melihat adiknya yang sibuk mengunyah sarapan. Lebih tepatnya ke kaki Dika. "Ekhem," Dion terbatuk sengaja.
Ah, mulai lagi deh, pikir Dika. Sebelum kakaknya berkata sepatah kata apapun, Dika berencana langsung pergi meninggalkannya.
"Tunggu."
Dika memutar bola matanya malas. "Apalagi?"
"Gak bisa kamu beli dan pakai sepatu lain?" sindir Dion.
Dika menghela napas gusar. "Bukan urusan kakak."
"Kamu gak malu? Coba saja lihat, bolong, robek, kotor, lusuh banget. Heran, kenapa gak mau ganti sih? Gak ada duit? Sini kakak beliin!" sepatu Dika memang tak pernah luput dari pantauan kakaknya. Terlepas dari rupanya yang sangat tidak layak pakai, entah ada masalah apa di antara Dion dan sepatu adiknya hingga ia sangat membenci dan bersikeras membuang sepatu itu. Toh, Dika sendiri tidak masalah memakainya, kenapa Dion harus mempermasalahkannya?