Putih biru. Seragam yang selalu kunantikan sejak lulus dari Sekolah Dasar. Tak menyangka kini aku memakainya. Aku telah duduk di bangku SMP.
Meski begitu, 'tradisi' itu tak juga pudar. Setiap pagi, aku dan kakakku selalu berebut untuk menentukan siapa yang diantar ke sekolah terlebih dahulu. Ia berada di bangku SMA, sedangkan aku tak rela menunggu. Sekalipun jarak dari rumah ke sekolahku lebih jauh dibandingkan jarak dari rumah ke sekolahnya, pada akhirnya tetap aku yang harus mengalah. Huft!
Kembali pada kenyataan, ternyata menjadi siswi SMP tak selamanya menyenangkan. Siang bolong begini Bu Siti memberi kami tugas untuk mengerjakan soal-soal matematika yang tentu saja membuatku pusing tujuh keliling. Melihatnya saja tak selera. Benar kata orang, terkadang sesuatu datang di waktu yang tidak tepat. Tetapi jika disuruh memilih, lebih baik aku mengerjakan 50 soal matematika dibandingkan disuruh menyusun karangan cerita, aku menyerah.
Di tengah kondisi kelas yang kacau balau, aku hanya memandang kertas kosong di hadapanku. Sambil melamun, tiba-tiba terpikirkan di benakku, ada sesuatu yang tidak beres. Setelah aku mencari sumber pikiran tersebut, ternyata benar, memang ada yang tidak beres. Jika kuperhatikan lagi, mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur, rasanya ada yang aneh pada diriku. Mengapa hidupku begitu normal? Bahkan ini menjadi tidak normal bagiku. Bukan tidak mensyukuri nikmat dari-Nya, aku hanya khawatir. Bukankah sesuatu akan terjadi jika kita terlalu baik-baik saja?
"Heh! Jangan bengong." ucap Tarisa sambil menggebrak meja.
"Ih bikin kaget aja!"
Angan-angan di pikiranku pun pergi begitu saja setelah Tarisa, teman sekelasku, datang mengusikku. Tanpa kusadari bel pulang hanya tersisa 20 menit lagi sedangkan tugasku yang sama sekali belum kusentuh harus segera dikumpulkan. Dengan tergesa-gesa aku menyalin pekerjaan Tarisa yang sudah sedari tadi diselesaikannya. Dasar anak rajin. Untung saja aku berteman dengan Tarisa, gadis cantik yang dikenal dengan sifatnya yang ulet dan cakap, sehingga aku dapat mengandalkannya.
"Fyuh, capek banget." keluhku setelah mengumpulkan tugas di meja guru.
"Gitu doang lama." ketus Tarisa.
"Jangan gitu dong! Tapi, makasih ya."
Triiiingggg. Belum 3 menit sejak aku menghela napas, bel pulang sekolah telah berbunyi. Sorak sorai di kelas memenuhi gendang telingaku. Sangat berisik. Tanpa berlama-lama aku lekas membereskan buku yang tergeletak di atas meja dan dimasukkan ke dalam tas. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan Tarisa, aku langsung pergi menuju gerbang sekolah untuk menanti ibu menjemput.