Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada pengujung abad ke-16, orangorang Belanda hanya mengenal satu urusan, yakni mencari sumber rempah untuk dijadikan komoditas perdagangan baru. Jalan niaga mereka di beberapa titik di Hindia Timur semakin terbuka setelah kongsi dagang VOC terbentuk pada 1602. Mereka jadi punya kekuatan untuk bernegosiasi langsung dengan penguasa setempat. Awalnya, orang-orang Belanda tidak tertarik mencampuri urusan politik di sela kegiatan dagang.
Seperti yang dicatat Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008: hlm 135), sampai awal abad ke-17 orang Eropa tidak membawa perubahan dalam konstelasi politik di Nusantara. Orang Belanda sendiri sangat membatasi aktivitas perdagangan mereka di wilayah Kesultanan Jambi dan Palembang, serta beberapa titik berlabuh di Maluku. “Perdagangan mereka terutama bergantung pada kehendak baik dari penguasa setempat […] Sultan-sultan itu bertindak sebagai perantara antara petani lada di negeri mereka dan para pedagang asing,” terang Vlekke.
Keadaan mulai berubah setelah VOC menyadari bahwa ke mana pun mereka berlabuh selalu disambut oleh konflik dan perang takhta kerajaan. Pada 1602, utusan pertama Kompeni yang merapat di Demak langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah itu tengah dirundung perang dengan Kesultanan Mataram. Delapan tahun kemudian, saat merapat di Teluk Jakarta, mereka kembali mendapati konflik teritorial yang melibatkan Kesultanan Banten dengan penguasa Jayakarta.
Perselisihan antara para penguasa lokal itu banyak merugikan Kompeni dari sisi perdagangan. Menurut catatan Vlekke, kondisi demikian lambat laun memaksa para Gubernur Jenderal untuk memakai kekerasan bahkan manipulasi politik demi memenangkan monopoli dagang. Strategi ini cukup ampuh melumpuhkan Kesultanan Mataram, negeri makmur penghasil beras dan kayu yang sangat dibutuhkan orang-orang Belanda kala itu. Sejak permulaan abad ke-17, VOC berubah menjadi penguasa jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa dengan memukul mundur pengaruh para raja Jawa ke pedalaman.
Demi merintis lebih banyak jalur perdagangan dan meningkatkan pendapatan perusahaan, pada 1610 VOC membuka gudang rempah-rempah di Pulau Onrust yang terletak di sebelah utara Kota Jayakarta. Pos pertama VOC di perairan utara Jawa itu secara tidak langsung mengundang sikap permusuhan dari Kesultanan Banten yang tengah menghadapi sengketa teritori dengan penguasa Jayakarta. Banten dibantu Inggris lantas berusaha menaklukkan Jayakarta beserta VOC. Upaya itu berhasil digagalkan oleh Jan Pieterszoon Coen yang berlayar dari Maluku dengan membawa lebih banyak kapal perang. Pada tahun 1619, Jayakarta berhasil direbut oleh VOC dan namanya diganti menjadi Batavia. Hubungan antara VOC dengan Mataram tidak lebih baik dari Kesultanan Banten.
Menurut Vlekke, sampai paruh pertama abad ke17, orang-orang Belanda di Batavia terus menerus hidup di bawah ancaman serangan yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh Sultan Agung. Raja ke-3 Kesultanan Mataram itu sejak lama berupaya menaklukkan seluruh pesisir utara Jawa agar dapat menghidupkan kembali hegemoni Kerajaan Majapahit. Hanya Jayakarta beserta wilayah kekuasaan Banten yang sulit ditumbangkan. Setelah Sultan Agung wafat, penerusnya yang bergelar Amangkurat I memilih berdamai dengan VOC. Amangkurat I dikenal sebagai raja lalim yang terkucil dari masyarakat dan dijauhi oleh pengikutnya.
Oleh karena itu, ia merasa bisa mendapatkan kembali kesetiaan vasal-vasalnya di pesisir utara Jawa dengan memanfaatkan VOC. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005: hlm. 166) mencatat bahwa sejak tahun 1646 VOC beberapa kali mengirimkan utusannya menghadap Amangkurat I. Sang raja dengan bangga menganggap orang-orang Belanda adalah bagian dari vasalnya. VOC tidak pernah membantahnya, bagi mereka yang terpenting dari hasil “berkawan” dengan Raja Mataram itu adalah bisa membuka pos perdagangan di Jepara pada 1651. Tahun 1660, lanjut Ricklefs, VOC mendapat kawan baru seorang pangeran Mataram yang tidak lain adalah putra sulung Amangkurat I.
Kebetulan hubungan ayah dan anak itu tidak begitu harmonis. Sang pangeran bahkan merancang pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya dari Madura untuk menggulingkan ayahnya. Konflik takhta yang melanda Mataram pada periode 1670-an lambat laun mengganggu aktivitas perdagangan VOC di pesisir utara Jawa hingga memaksa mereka mengambil sikap. “VOC menghendaki stabilitas di daerah pesisir sehingga perdagangan dapat berjalan dengan baik, dan sekarang VOC harus memutuskan apa yang dapat dilakukan demi tercapainya stabilitas itu,” tulis Ricklefs. Setelah Amangkurat I wafat dalam masa pelarian, putranya yang sudah tidak mampu mengendalikan pemberontakan Trunajaya kembali mendekati Kompeni.
Bergelar Susuhunan Amangkurat II, ia menjanjikan monopoli dagang dan hak pajak pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa jika VOC mampu meredakan pemberontakan atas nama Mataram. Pada akhir tahun 1676, pemerintahan VOC di Batavia mengutus laksamana Speelman untuk membereskan masalah tersebut. Speelman memimpin ekspedisi di pesisir utara dengan pasukan sebanyak 1.500 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan pasukan Mataram yang belakangan begabung. Ricklefs menyebut kekuatan militer VOC di masa ini sebenarnya tidak terlampau menonjol, malah cenderung terpencil dan hanya dikerahkan sebagai bagian dari pertahanan.
Pemberontakan di pantai utara Jawa yang meluas sejatinya merupakan konsekuensi dari kekuasaan Mataram yang dipaksakan. Sepanjang abad ke-17, raja-raja Mataram dengan tekun melakukan sentralisasi kekuasaan para penguasa di pesisir utara ke pusat kerajaan Mataram di Kartasura. Menurut Lucas Wilhelmus Nagtegaal dalam Riding the Dutch Tiger (1996: hlm. 35), gagasan ini gagal dipahami oleh sebagian besar bupati yang tinggal sangat jauh dari ibu kota. Mereka malah cenderung menganggap VOC--yang sudah memiliki basis kekuatan di pesisir--sebagai kekuatan baru yang mampu menandingi Mataram. Tidak sedikit penguasa lokal yang pada akhirnya memilih bekerja di bawah Kompeni.
“Lama kelamaan para Bupati memandang VOC sebagai penyedia jalan alternatif yang bisa membebaskan mereka dari Mataram, mereka meminta Gubernur Jenderal untuk menerima mereka sebagai vasal,” tulis Nagtegaal. Ia mencatat bahwa Madura barat dan Surabaya merupakan dua wilayah yang paling keras menolak tunduk kepada Raja Mataram.