Lihat ke Halaman Asli

Kaldu Air Mata

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1415141856899161142

Anda ingin masak selezat Nyonya Susie? Gampang saja! Panaskan mentega di kuali, goreng dada ayam hingga kuning keemasan, perciki dengan jeruk nipis, tambahkan peterseli segar dan adas, lalu tiriskan…

Ah, lupakan! Tak ada yang mampu menyainginya. Apa pun yang Anda lakukan, hasilnya dijamin tak seenak buatannya. Cuma Susie yang sanggup menyulap hidangan itu sampai penikmatnya memejamkan mata saking sedapnya.

Apa rahasia resep Susie sebenarnya? Tiga puluh tahun trauma, kawan!

[caption id="attachment_372008" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: rebelart.com"][/caption]

Nyonya Susie cocok jadi ratu dapur sesungguhnya. Kerap kali ia mengeluh soal bobot tubuhnya. Pipinya gembil dan ranum dihiasi dua kelereng coklat berbinar-binar. Tak terhitung pujian diterimanya ihwal kepiawaiannya di pawon. Senyum pun senantiasa tersungging di sudut bibirnya.

Tentu saja banyak orang ingin tahu apa bumbu mujarab di masakannya. Susie bergeming. Mulutnya terkunci rapat. Ia tak suka riwayatnya diumbar. Jalan hidupnya hanya hati kecilnya yang tahu.

Untung, Jumhana suaminya, tak kalut bercerita, “Keluarga kami pejuang keturunan menak melawan Belanda. Sedangkan Susie, noni Indo blasteran di Bogor!”

Abdi jatuh hati padanya, meski keluarga jelas-jelas menentang. Kami nikah diam-diam tanpa restu orang tua,” lanjutnya.

Jumhana menghela nafas.

“Tiap hari Susie mengirim penganan ke rumah mertua abdi. Bertahun-tahun! Hingga suatu hari ia mengetahui kirimannya berlabuh di keranjang sampah,” kenang Jumhana.

Alih-alih kecewa, Susie kian terampil mengasah kemampuannya. Aroma masakan tersebar di seantero Buitenzorg menggugah selera. Dari pintu ke pintu, dari mulut ke mulut, dari meja ke meja… Hanya di keluarga Jumhana, olahan Susie berakhir di tong sampah.

Cadas sekeras berlian pun dapat diasah, lain halnya dengan kepala batu ayah Jumhana. Lelaki renta itu hingga masa senjanya tidak sudi mengunyah sajian menantunya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karma merajam ayahanda Jumhana. Digerogoti usia, pikun mencokok pikirannya. Ayah Jumhana tak sadar lagi, siapa masak apa.

Aku lihat sendiri tubuh kisut itu melahap ayam mentega racikan menantu yang amat dibencinya. Dua piring ludes di hadapannya. Si bangka kena tulah!

Impas? Jangan silaf, kawan…

Sampai sekarang, cadas itu belum rapuh di kepala ayah Jumhana. Suatu hari, sehabis menyantap masakan Susie, ia bersendawa. Matanya mendelik melihat cucunya.

“Siapa ayahmu, Nak?” sergah kakek itu dengan pandangan elangnya.

Bocah menggemaskan itu sontak menunjuk Jumhana.

Suasana hening sesaat. Tatapan kakek tua itu tiba-tiba beradu dengan Susie.

Godverdomme zeg! Hanya Gusti Allah yang tahu dengan siapa perempuan antek Belanda ini berbagi ranjang!” pekiknya.

Susie terhuyung menuju dapur. Butiran bening menitik di pipinya. Air mata itu menetes pula di belanga…

***

Gunung Mas, medio Agustus 2009




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline