Meskipun cukup jauh, perjalanan menuju Desa Nyuh Tebel, Manggis Karangasem, terbilang mudah. Berangkat pukul 10.18, saya dan Kompasianer Darwin Arya memulai perjalanan dengan menyusuri Jalan By Pass Ida Bagus Matra Ketewel menuju ke arah pelabuhan penyeberangan Bali-Lombok, lalu ke arah Pantai Candi Dasa Karangasem. Pertigaan Desa Nyuh Tebel sudah terlihat tak jauh dari pantai. Dua menit setelah melewati pertigaan tadi, saya sudah tiba di rumah merangkap bengkel las milik Bli Tawan sekitar pukul 11.40 WITA.
Nama Tawan belakangan ini memang sedang naik daun. Beberapa media bahkan menyematkan istilah ‘Iron Man’ untuknya. Sejak ‘lengan robot’-nya dimuat media massa lokal, saya sudah berniat melihat langsung kehebohan yang muncul dengan mendatangi rumah Wayan Sumardana atau akrab dipanggil Sutawan. Alhamdulillah, Minggu (24/1) kemarin ada waktu luang untuk bisa mlipir ke Karangasem!
Desa Nyuh Tebel bisa dibilang sebagai desa yang cukup baik tingkat perekonomiannya. Terbukti jalan masuk ke desa sudah beraspal dan akses serta fasilitas wisata sangat menunjang kehidupan perekonomian desa, dengan didukung pertanian dan perdagangan tentunya.
Ada beberapa resort, restoran, bungalow dan dua agro wisata kopi luwak yang cukup terkenal di sini, yakni Putra Argo Nyuh Tebel dan Tenganan Dauh Tukad Agro Wisata. Kondisi ini cukup kondusif untuk desa Nyuh Tebel membangun ekonomi warganya, salah satunya yang sedang menjadi perbincangan netizen Indonesia adalah Bli Tawan.
Bengkel las milik Bli Tawan sangatlah memprihatinkan dan membuat banyak orang miris dan iba melihatnya. Dengan kondisi serba berantakan dan minim MCK, rumah itu sebenarnya tidak layak untuk ditinggali. Tapi Bli Tawan tidak punya pilihan lain.
Saat tiba di sana, saya melihat sebuah rumah bertembok papan seng dan beralaskan tanah. Tempat tinggal itu sama sekali tidak mampu menghalau terik matahari atau pun menahan guyuran air hujan. Di sana-sini tergeletak banyak barang rongsokan dan timbunan botol plastik bekas. Persis seperti lapak-lapak pemulung sampah pada umumnya.
Anda mungkin akan menangis seperti yang saya dan Darwin Arya alami. Bersama ketiga anaknya, istri Bli Tawan tidur beralaskan kardus bolong. Di hadapan tempat tidur kardus itu terdapat tempat cuci pakaian, tempat makan dan tumpukan piring bekas. Cukup memprihatinkan dan ini bukan sedang dalam sebuah film klasik yang sedang mempertontonkan adegan kemiskinan yang menyedihkan. Air mata mereka sudah kering dan blenger menikmati kepedihan ini setiap saat dan setiap hari.
Maka tak heran, saat stroke melumpuhkan tangan kirinya enam bulan yang lalu, Bli Tawan harus membangkitkan dirinya sendiri. Ia tak boleh lemah, pikirnya saat menyadari tangannya sempat beberapa hari tidak bisa bergerak. Keadaan ini sempat membuatnya down. Tapi karena melihat anak istri nya harus hidup, Bli Tawan berinisiatif mencari jalan agar ia bisa bekerja dan tangan kirinya bisa digerakkan seperti orang normal lainnya.
Mulailah Bli Tawan mencari informasi dari internet dan juga bantuan saran dari seorang kawannya yang mengerti kelistrikan dan mekanikal agar bisa dibuatkan lengan mekanik. Dan jadilah lengan bionik yang menjadikan dirinya sangat terbantu dengan alat tersebut.
Barang-barang bekas yang murah dan hanya dibeli tidak lebih dari 100 ribu rupiah dijadikan komponen pendukung lengan bionik tersebut. Yang paling mahal dan menjadikan inti dari lengan tersebut adalah harga mesin semacam Polygraph atau Lie Detector. Orang biasa menyebutnya mesin pendeteksi kebohongan. Jadi selama ini di beberapa media menyebut bahwa sebelumnya Bli Tawan mengklaim sumber penggerak yang berasal dari sensor syaraf dengan system EEG (Electro Encephalo Gram ).
“Itu tidak benar, yang benar system kerja sensor lie detector. Saya minta tolong kawan saya membelikan di web lewat googling bahasa Indonesia. Harganya sekitar 4,5 juta rupiah”, jelas Bli Tawan kepada kami.