Menyusuri hiruk-pikuk Jalan Legian dan lingkungan sekitar Pantai Kuta membuat merah mataku. Tanpa terasa air mata turun mengalir perlahan menyusuri pipi yang sudah tidak halus lagi. Berkerut dahi ini menyaksikan ketika aku sudah kehilangan merah putih di tanah airku sendiri yang kucintai.
Rasa menyesal menumpuk di dada. Beban berat seolah menghimpit mematikan rasa. Mungkin ini bukan salah siapa-siapa. Mungkin hanya perasaanku saja yang merantai mata hatiku yang kecil ini.
Kehidupan malam Legian dan Pantai Kuta sungguh menampilkan keadaan yang bukan "milikku", dan juga bukan "milik Indonesia" lagi.
Jejeran klub malam dan tempat bersuka, riang menghentak memecah kesunyian malam Kuta. Di depannya berdiri 2 sampai 5 gadis muda berbikini sambil memegang sebotol vodka. "Ayo Mampir. Having fun, Right here," sahut mereka memanggil para jejaka tampan dari seluruh penjuru dunia.
[caption id="attachment_335637" align="aligncenter" width="400" caption="www.suryapratamatravel.blogspot.com"]
[/caption]
Kutengok kepala ke arah dalam sebuah klub dengan panggung terbuka menghadap ke jalan Legian. Seorang Pemuda lokal tampan bercelana renang sedang meliuk-liukkan tubuhnya mengiringi dentuman musik hingar bingar. Di sampingnya seorang gadis dengan bawahan dibalut kain bali dan atasan hanya menutupi dada saja. Terkadang gerakan mereka mesra. Terkadang menjauh mencari mangsa penonton yang ikut berdansa.
Di pinggir jalan, kerumunan pemuda pemudi dari negara lain sedang asyik bercengkerama dengan bercanda tertawa lepas, terkadang liar tergelak. Ada seorang muda yang tiba-tiba menggerakkan kepalanya mencium gadisnya yang hanya berbaju seperti perenang saja. Aroma alkohol keras menyengat.
[caption id="attachment_335635" align="aligncenter" width="600" caption="(gambar dari www.smh.com.au)"]
[/caption]
Di bagian lain, kucoba mengalihkan perhatianku pada beberapa butik. Di dalamnya terpajang beberapa merek dunia. Terkenal dan mahal. Kuraih saku belakangku. Wah baju-baju bagus ini tak bisa kuraih walau hanya dengan telapak tanganku yang setiap hari bekerja memeras keringat memutar otak untuk dapur yang harus mengebul. Huruf '$" di samping angka-angka itu kembali memerahkan mataku.
Taksi-taksi biru ini pun tak kalah berbaris rapi menunggu hantaran barunya. Mereka hanya bisa jadi penonton. Melihat wajah riang memerah tertawa, menari, memercikkan air botol ke bibir mereka. Meniup asap putih beraroma ke wajah mereka. "Bali seperti surga dunia," kata mereka.
Dengan berlinangan air mata karena sedih, kuhela napas kecil. Di sudut jalan, ada seorang anak kecil berpakaian lusuh, rambut kucel seperti belum pernah dimandikan sedang menangis menggendong adiknya. Adiknya yang masih bayi merah tidak bisa diam meronta-ronta kelaparan. Sang kakak hanya bisa menggendong sambil berusaha menenangkan si adik. Ia juga menangis. Bila si adik bayi sepertinya menangis kelaparan, sang kakak sepertinya menangis tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa menenangkan adiknya itu. Uang tidak ada untuk bisa membelikan adiknya sebotol susu. Bukan hanya susu saja, sang kakak tidak bisa menutupi rasa ketakutannya pada kehidupan malam yang membutakan ini.