Lihat ke Halaman Asli

Agung Soni

TERVERIFIKASI

Penduduk Pendatang Harus Tahu Cara Persiapkan Kematian Diri di Bali

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="-Ilustrasi, Tradisi Ngaben. Upacara untuk meninggalnya penduduk Bali (KOMPAS.com) "][/caption]

Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali begitu mempesona banyak orang untuk mencari rezeki. Tak kurang hampir 4.000 jiwa setiap tahunnya memasuki Pelabuhan Gilimanuk untuk mengadu nasib di Bali. Dan Denpasar sebagai ibukota nya menjadi kota target yang banyak dituju duktang (Penduduk Pendatang).

Semua penduduk pendatang harus didata oleh Pemerintah Daerah. Baik kelahiran, pernikahan dan juga kematian.

Tapi, tahukah anda kalau duktang yang akan menetap di Denpasar untuk jangka waktu lama harus juga mempersiapkan kematiannya di Bali ? Jangan sesekali meremehkan masalah ini. Karena banyak cerita dan kasus yang terjadi adalah karena duktang tidak pernah tahu bagaimana cara mempersiapkan diri menyambut kematian dirinya sendiri di Bali.

Ada sebuah kisah di sekitar daerah Pasar Renon tentang kematian seorang anak muda di sebuah kost. Saat itu pemuda itu tinggal sendiri. Ia bekerja dari pagi dan pulang kerja petang. Hanya tetangga kostnya yang tahu saat ia tidak muncul 1 hari, ternyata ia ditemukan sudah tidak bernyawa di kamar kostnya. Karuan saja, tetangga sesama muslim panik. Mengapa panik ? Karena bila terjadi kematian di dalam kamar kost, maka pihak tuan rumah kost bisa menuntut uang untuk upacara pembersihan secara adat Hindu Bali. Dan biaya upacara pembersihan secara adat itu bisa memakan biaya mahal minimal Rp.50 juta untuk sekali upacara. Bisa dibayangkan kesulitan duktang yang banyak masih mengandalkan kost di Bali bila menghadapi kematian.

Cerita ini menjadi sebuah kesedihan sekaligus memberikan hikmah. Dengan adanya kematian pemuda itu, banyak orang muslim di daerah Pasar Renon tersebut akhirnya sepakat mendirikan sebuah masjid/musholla sebagai tempat untuk menerima persemayaman sementara jenasah muslim yang mau dimandikan, dishalatkan hingga akhirnya dimakamkan. Masjid itu pun didirikan dengan swadaya masyarakat secara bergotong royong. Dan kini masjid Ar Rahmaan sudah ada itu akan selalu mengingatkan muslim di Bali bahwa duktang harus mempersiapkan kematiannya di Bali dengan cara yang beradab, bersih dan tidak mengundang permasalahan besar bagi penduduk Bali yang mayoritas beragama Hindu.

Masih lekat kisah itu di benak penulis, tiba-tiba kemarin hari Senin, 08 September 2014 usai shalat Dhuhur di masjid , penulis terkejut karena ada seorang jenasah yang belum dimandikan masih terbujur kaku di teras masjid biasa saya shalat. Usut punya usut, jenasah tersebut belum dimandikan dan dishalatkan karena masalah sepele. Jenasah dan keluarga belum terdaftar dalam "Rukun Kifayah" atau lebih akrab dengan sebutan "Rukun Kematian". Rukun Kifayah/Kematian ini biasanya berbentuk sebuah yayasan atau takmir masjid yang bertugas mengurusi semua kepentingan jenasah para anggotanya. Dan ini sebuah syarat mutlak bila seorang muslim tinggal di Bali, ia harus mempersiapkan kematiannya sendiri dengan cara bergabung dan membayar iuran infaq setiap tahunnya kepada Rukun Kifayah/Kematian ini.  Bila belum tercatat maka pengurusan jenasah kelak akan menemui kesulitan seperti yang kami ceritakan di atas.

Iuran setiap tahunnya bervariasi antara RK yang satu dengan RK yang lain. Kisarannya antara Rp.25.000 hingga Rp.150.000,- per tahunnya per anggota RK.

Kalau tidak tercatat sebagai anggota RK biasanya pengurusan jenasah akan banyak menemui kendala dan bisa-bisa permasalahan yang terjadi akan semakin pelik bila tidak tercatat dalam RK.

Kembali pada kisah jenasah itu, karena tidak terdata sama sekali (mungkin semasa hidup ia meremehkan masalah RK ini) jenasah dibiarkan terlantar hingga berjam-jama tanpa ada 1 orang pun yang berani mengurusnya. Penulis pun ikut tertegun dan bingung karena pengurusan jenasah memang tidak boleh sembarangan, ada aturan warga asli Bali yang harus diikuti. Seperti iringan jenasah menuju tanah kuburan tidak boleh melewati Pura sebagai tempat suci umat Hindu Bali dengan radius yang sudah ditentukan.

Hingga akhirnya para pengurus masjid tempat kami mengambil inisiatif untuk mengurus jenasah atas dasar banyak pertimbangan. Dan pertimbangan utama adalah sunnah Nabi untuk cepat mengubur jenasah saat itu juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline