Lihat ke Halaman Asli

Agung Soni

TERVERIFIKASI

Derita Suparmo, Korban Talangsari Lampung 1989

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1410585495375200727

Penulis mengenal Suparmo sebagai paman dari istri penulis sendiri. Karena setiap lebaran, saya pasti mudik dari Bali menuju Lampung, mau tak mau setiap tahunnya kami bersilaturahmi ke rumah Paklek Parmo.

Suparmo adalah korban dari peristiwa berdarah Talangsari di tahun 1989.

Suparmo berpeci putih kemeja putih saat hadiri Peringatan Konflik Talangsari ke 18 (dok.pri) dr buku

Suatu kali, Paklek pernah berkisah kepada saya tentang peristiwa Talangsari 1989 yang pernah ia alami.

"Saya ini orang yang haus ilmu agama. Bila ada kajian ilmu agama, Paklek pasti akan berusaha datang. Walaupun tempatnya jauh, ora masalah. Yang penting batin ini puas dan tentram karena ilmu dan wawasan bertambah, kenalan juga nambah," Paklek mengawali kisah asal muasalnya mengapa beliau senang datang ke acara kajian agama.

Dulu di tahun 80-an, pengawasan kepada kelompok-kelompok pengajian sangat ketat dan banyak yang melakukan kajian agama dengan secara sembunyi-sembunyi, mengingat resiko yang tidak kecil bakal dihadapi bila ketahuan aparat keamanan saat itu.

Peristiwa Talangsari sesungguhnya adalah penyerbuan aparat militer ke kelompok pengajian yang dipimpin Anwar Warsidi dan sarat dengan pelanggaran HAM. Stigma yang ada ternyata pengajian kelompok Warsidi ini disebut sebagai "kelompok pemberontak" yang nyeleneh, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), kelompok makar dan PKI yang akan menumbangkan pemerintah. Fitnah mereka menyebarkan agama Islam sesat dijadikan kondisi dasar untuk penyerangan tersebut.

Padahal dari penuturan Paklek Suparmo pengajian itu benar-benar hanya membahas agama Islam murni berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi yang mereka coba praktekkan dalam pengajian dan kehidupan sehari-hari. Tidak ada doktrin untuk membangkang kepada pemerintah ataupun makar. Semua kegiatan murni mengkaji ibadah, muamalah, dan aqidah. Terlebih di tahun 80-an, kita mahfum seperti masalah jilbab masih sangat tabu untuk dipakai kaum muslimah (perempuan muslim).

Peristiwa Talangsari bukan semata-mata masalah agama, tapi terlebih pada sikap aparat negara ORBA yang kurang bisa menerima kritik dan perbedaan pendapat. Jamaah Warsidi kebanyakan adalah rakyat biasa yang kecewa kepada pemerintahan Soeharto yang sudah melenceng dari tujuan menyejahterakan rakyat. Orang-orang yang kecewa itu kemudian bergabung dan membuat konsep untuk mendirikan perkampungan Islami, di sebuah tempat yang jauh dari hingar-bingar.

Tapi sayangnya, niat membangun perkampungan islami yang akan menjalankan Al Qur'an dan Sunnah itu langsung direspon aparat dengan dentuman senjata dan bom pada Selasa, 7 Februari 1989. Korban berjatuhan tanpa perlawanan berarti. Mereka ditembaki, ditelanjangi, dibakar hidup-hidup, disiksa dan sebagian dijebloskan penjara.

Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam) mencatat ada 246 korban tewas, sedang pemerintah ORBA hanya mencatat 27 orang saja yang tewas (Sumber : Majalah Tempo, 18 Februari 1989).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline