Lihat ke Halaman Asli

Tingkat Pendidikan Seharusnya Sepadan dengan Etika

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bersyukur sekali rasanya jika saya bisa melanjutkan pendidikan sampai S3, tapi apa boleh buat untuk melanjutkan pendidikan ke S2 saja belum ada rejeki. Orang lain pun akan merasakan hal yang sama. Ada banyak orang yang begitu agresif untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tujuan mereka melanjutkan pendidikan tergantung dari yang bersangkutan, melanjutkan pendidikan karena strata sosial, ingin mendapatkan penghargaan yang lebih, demi profesi atau karena memang ingin lebih memperdalam ilmu yang telah didapatkan sebelumnya.

Terus bagaimana dengan etika dan sifat seseorang? Akankah tingkat pendidikan menjadi penunjang utama, akankah tingkat pendidikan menjadi tolak ukur dari etika manusia? PPKn, PMP atau sejenisnya merupakan salah satu pelajaran yang sudah didapatkan di bangku SD dan sampai SMA. Mata pelajaran tersebut merupakan salah satu mata pelajaran yang berkaitan dengan etika seseorang. Lantas bagaimana dengan jenjang pendidikan yang sudah lumayan tinggi seperti S1, S2 ataupun S3? Jawabannya akan lebih dipaham oleh mereka teman-teman kita yang sudah melewati ataupun yang lagi berproses dalam jenjang pendidikan tersebut.

Pendapat masyarakat di pedesaan tidak seharusnya disamakan dengan pola pikir orang yang tinggal di kota. Masyarakat di pedesaan berfikiran bahwa orang yang melanjutkan dan telah melanjutkan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi akan sangat sepadan dengan etikanya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik etikanya dan bagus pula pola pikirnya, akan semakin layak dijadikan panutan dalam bertata krama, bersikap, serta berkomunikasi antara sesama.

Sementara pendapat di masyarakat perkotaan, pada umumnya tingkat pendidikan seseorang bukanlah jaminan akan kualitas akhlaknya dan etika seseorang. Karena pada umumnya masyarakat perkotaan melanjutkan pendidikan dengan orentasi ke depan untuk mendapatkan strata sosial yang lebih, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam karir. Walaupun sebagian dari mereka beranggapan dan berfikir bahwa seharusnya tingkat pendidikan akan menjadi pedoman akan kualitas etika seseorang.

Beberapa hari yang lalu disalah satu pesta pernikahan yang pengantinnya termasuk orang yang berpendidikan. Beliau menyelesaikan S1 nya disalah satu perguruan tinggi yang terkenal di Makassar dengan background study yaitu Fakultas Ekonomi. Melihat kakaknya yang memakai pakaian biasa-biasa saja yang tidak sesuai harapannya, secara tidak langsung menegur kakaknya dengan intonasi kalimat yang cukup kasar agar kakaknya mengganti uniform pesta pada saat itu. Sang Ayah secara sepontan menegur anaknya yang akan melangsungkan pesta di gedung, “Pakessing-kessing mabbicarako akko kakakmu, passikola bawang mi de nisseng mabberekkada madeceng”, Ujarnya dalam bahasa bugis.  Yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih maknanya seperti ini “Tolong sedikit sopan ngomong sama kakakmu, kamu itu orang berpendidikan yang seharusnya mengeluarkan kalimat yang sopan layaknya orang berpendidikan. Kejadian seperti ini memberikan kita pelajaran berharga bahwa mungkin dari sisi lain dia berhasil menyelesaikan studynya tapi dari sisi lain pula dia tidak berhasil mempertanggungjawabkan dan memperlihatkan etika layaknya orang yang berpendidikan.

Kejadian lain yang sering kita jumpai seperti di dunia kerja, terkadang lontaran kalimat dari atasan terhadap bawahan sering kali mengeluarkan kalimat yang cukup menyinggung perasaan bawahan, pada hal covernya orang berasumsi bahwa atasan-atasan di perkantoran hampir dipastikan mereka dari kalangan orang-orang berpendidikan. “Dasar bodoh, pekerjaan seperti ini ga bisa diselesaikan, kau simpan dimana otakmu”.  Salah satu kalimat hampir sering didapatkan di kehidupan perkantoran, kalaupun ada kalimat yang tidak sama persis dengan itu paling tidak menghampiri dan mempunyai makna dan tujuan yang sama.

Kasian dan sangat disayangkan bagi rekan-rekan ataupun generasi-generasi sekarang yang berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat lebih tinggi lagi tapi etikanya tidak menampakkan sebagai orang yang berpendidikan. Keberhasilan menyelesaikan bukan saja dilihat dari titel kesarjanaan yang diperoleh melainkan ilmu dan etika/ sifat yang seharusnya dipertanggungjawabkan dan diperlihatkan juga layaknya orang yang berpendidikan.

Kan rancuhnya jadinya kalau dalam kehidupan sehari-hari orang lebih menghargai orang yang tidak mempunyai pendidikan tinggi kebanding orang yang berpendidikan tinggi hanya karena dari sisi etika. Ilmu dan Etika haruslah sepadan. Banyak orang sukses yang telah mengeluarkan statement bahwa faktor pendukung utama kesuksesan kebanyakan orang adalah etikanya (EQ) bukan ilmunya (IQ) tapi alangkah berbobotnya kita sebagai manusia jika mampu mengkombinasikan kedua-duanya.

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline