Lihat ke Halaman Asli

Takas T.P Sitanggang

Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Ibu Tumbuhan

Diperbarui: 25 September 2016   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Istri pak Soetoyo - saudagar paling kaya di kampung Muara Kapuk - menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku duduk menikmati kicau burung gereja di pohon cemara depan rumahku. Suaranya yang bagai petir menyambar-nyambar membuatku terkesiap. Bahkan, burung-burung pun ikut kejut dan beterbangan meninggalkan dahan.

“Ada apa gerangan? Hari belum sepenuhnya pagi, bu Soetoyo sudah naik pitam?” gumamku, heran.

Aku gegas berdiri dan melayangkan pandang ke halaman rumah bu Soetoyo dari sela-sela pagar bambu rumahku. Kebetulan rumah kami berhadap-hadapan. Hanya dipisahkan sebuah jalan selebar lima meter. Perbedaan yang mencolok dari kediaman kami adalah, rumah bu Soetoyo bertingkat tiga, tanpa gerbang, sehingga siapa pun yang melintas bisa menikmati kemegahan rumahnya yang menyerupai bangunan sebuah villa, sedangkan rumahku kecil, dengan pondasinya yang dari tahun ke tahun makin rendah dari jalanan.

Melalui sela-sela pagar bambu rumahku, kulihat bu Soetoyo berkacak pinggang. Sesekali tangan kanannya aktif menunjuk-nunjuk wajah pak Kodir yang berdiri di depannya. Dari kata-kata yang sayup kudengar, ia marah lantaran bunga-bunga di kebunnya yang seluas lima puluh meter itu layu semua.

"Saya tidak tahu kenapa bisa begini, bu. Padahal saya selalu siram dan kasih pupuk setiap hari,” ujar pak Kodir dengan suara yang gemetar.

“Saya tidak mau dengar alasanmu, dir! Yang jelas, di rumah ini yang bertugas mengurus tanaman, ya, kamu! Jadi sekarang kalau semua bunga saya layu sudah pasti karena kamu mengurusnya tidak becus!”

Pak Kodir menunduk dan hanya bisa diam seperti patung yang murung di tengah taman. Tetapi kemudian, lelaki kurus berkulit hitam legam itu tercekat, mukanya pucat, begitu bu Soetoyo dengan cepat dan mantab mengatakan.

“Hari ini juga kamu saya pecat!”

***

Sepulang sekolah, saat aku melewati rumah gedong itu, kulihat bu Soetoyo tengah berbincang dengan nyai Umi. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang kulihat mereka asyik bercakap-cakap sebelum akhirnya bu Soetoyo masuk ke dalam dan meninggalkan nyai Umi di teras. Nyai Umi adalah salah satu warga kampung Muara Kapuk yang hidup sebatang kara dalam sebuah gubuk di tengah pematang sawah di selatan kampung ini. Ia perempuan yang sudah sangat tua. Perangainya menyerupai seonggok pohon kering – keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal pada tubuhnya. Meski demikian, wajahnya selalu tampak bercahaya dan tubuhnya selalu wangi. Dari radius lima meter, kalian akan bisa mengendus Angel, Thierry Mugler, kala ia berlalu.

Sudah lama nyai Umi tinggal di kampung ini bak ikan yang tiba-tiba menghuni genangan air. Asal-usulnya tidak begitu jelas. Bahkan warga asli kampung Muara Kapuk sendiri tidak ada yang tahu. Kami hanya menerka-nerka bahwa ia merantau jauh dari pulau seberang. Sepengamatanku selama ini ia bersosialisasi seperlunya saja jika sedang berbelanja ke pasar, selepas itu, ia lebih senang bertani dan merawat tanaman-tanaman di sekeliling gubuknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline