Lihat ke Halaman Asli

Takas T.P Sitanggang

Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Seekor Kumbang yang Jatuh Cinta

Diperbarui: 4 Februari 2016   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang percaya, bahwa ketika orang baik pergi meninggalkan dunia, ia akan berubah menjadi matahari di musim gugur, salju di musim dingin, burung yang terbang bebas di angkasa, bintang di langit malam, dan angin sepoi yang memberikan ketenangan. Rohnya akan menjelma menjadi bagian penting untuk kehidupan manusia selanjutnya. 

Lalu, bagaimana aku yang kini berubah menjadi seekor kumbang? Apakah dulu aku orang yang baik atau yang jahat? Mengapa Sang Pencipta tidak mentakdirkanku sebagai awan, merpati, atau pelangi? Mereka disukai banyak orang. Sedangkan kumbang? Apakah arti dari wujudku yang bundar kecil dengan punggung yang berbintik-bintik hitam-merah seperti ini? 

Pertanyaan itu terus merongrong pikiranku hingga aku malas mencari kutu daun untuk kumakan. Tubuhku jadi kurus dan lemas, bahkan nyaris mati dan entah akan ditakdirkan lagi sebagai apa? Jika ada yang bertanya bagaimana proses aku menjadi kumbang? Sungguh aku tak bisa menjawab. Semuanya serba tiba-tiba seperti tak bermula, bagai permainan sulap. 

Namun, kini aku sudah melewati masa-masa galau itu. Aku sudah move on! Sekarang aku bahagia menjadi seekor kumbang. Kebahagiaan itu ada sejak aku menemukan kembang Mutiara. Di taman sekolah ini, selain ditanami berbagai kembang yang jenisnya sudah umum seperti melati, mawar, anggrek, matahari, dan tulip. Di taman ini ada kembang Mutiara. Kembang Mutiara tidak serupa kembang-kembang lainnya. Dia unik karena muncul pada waktu-waktu tertentu saja. Biasanya muncul ketika lonceng di ujung sekolah ini berdentang. 

Ya! Ya! Kembang Mutiara memang bukanlah kembang dalam arti yang sebenarnya. Itu hanya perumpamaanku saja, yang suka berpujangga karena dulu bercita-cita menjadi seorang penyair layaknya Sapardi Djoko Damono, namun sayang, ajalku lebih dulu tiba. 

Kembang Mutiara adalah manusia sebagaimana aku dulu. Dia seorang gadis bernama Mutiara. Dia murid di sekolah ini. Lalu, mengapa aku mengibaratkannya sebagai kembang? Alasannya tentu karena aku seekor kumbang! Sebagaimana bulan yang selalu dipasangkan dengan bintang. Gula dengan semut. Atau air dengan ikan. 

Berjam-jam menunggu akhirnya lonceng di ujung lorong sana berdentang. Aku nyaris jatuh dari kelopak anggrek ini lantaran melompat kegirangan. Karena bersamaan dengan bunyi lonceng itu kembang Mutiara akan datang. Murid-murid dan guru-guru menghambur ke penjuru sekolah. 

Itu dia! Kembang Mutiara sedang menuju taman ini. Kakinya yang jenjang berjalan dengan tenang. Jantungku berdebar-debar. 

“Hai, kembang-kembang yang cantik! Apa kabar?” ujarnya setelah menduduki bangku panjang di sisi timur taman ini. 

Pandangan kembang Mutiara menjelajah kembang-kembang di taman ini. Bibirnya tersenyum. Matanya yang lentik pelan-pelan memejam. Hidungnya yang mancung serupa garis menarik nafas panjang. Panjang sekali. Seakan-akan esok dia tak bisa menghirup udara segar lagi. Dengan pelan-pelan pula ia membuka matanya. Lalu ditatapnya lekat-lekat awan yang seperti gumpalan-gumpalan kapas itu.

“Tuhan, hiburlah mereka yang berduka dan berilah kekuatan kepada mereka yang putus asa,” desisnya, seolah-olah di awan itulah para malaikat bersembunyi dan mencatat doa-doa manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline