Lihat ke Halaman Asli

Membasmi Preman Sekaligus Peternak Preman

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_275168" align="alignleft" width="180" caption="Eliot Ness (Foto: Istimewa)"][/caption] JIKA Anda penggemar film, pasti tidak melewatkan trilogi  The Godfather. Di film itu dikisahkan bagaimana dunia usaha dan kejahatan menyatu termasuk berkolusi dengan oknum penegak keadilan. Film yang diangkat dari novel Mario Puzo itu, menjadi salah satu karya  film terbaik sepanjang masa. Apalagi sang sutradara, Francis Ford Coppola, begitu menyelami lekak-lekuk dunia kemafian. Sebuah karya novel yang baik, berangkat dari suatu riset di lapangan. Maka film pertama dirilis pada 1972 itu, bisa dikatakan bukan 100% fiksi. Adalah  Marlon Branndo dan Al Pacino menjadi bintang utama itu film, menebalkan ingatan akan kekuatan film. Bila menyimak visual The Godfather, bagaimana kejahatan dikemas dengan apik berselingkitan dengan keharuman parfum dan kemewahan jas,  sesekali lipstik perempuan cantik, termasuk merambah melibatkan  kaum agamawan gereja. Namun kini,  jika Anda  berkesempatan nyata  berjalan-jalan ke kota-kota di film itu, khususnya ke  Palermo, Sisilia, dominan menemui  jalanan batu dibangun di era Romawi; kakek dan nenek berjalan santai, daun-daun kering gugur di musim panas, udara  bersih. Rombongan turis lirak-lirik bercengkrama mengusik suara alam. Tidak ada dar der dor sosok mafioso berjas keren berlanggam Italia. Panorama itu  menajam kontras, bila di benak  Anda masih membekas visual bagaimana  dua kelompok pemuda terlibat baku hantam di Jl. Ampera, Jakarta Selatan. Mereka seenaknya membawa pedang, parang, kelewang, bahkan pistol dar der dor. Dari sudut penampilan, sosok  yang terlibat dalam laku brutal  di Jakarta Selatan itu, oleh banyak kalangan dijuluki preman. Biasanya kegiatan mereka dominan di malam hari. Mereka menjaga tempat-tempat hiburan malam, atau di siang hari muncul menjaga area perparkiran sebuah wilayah, pasar misalnya. Rabu pekan ini, preman itu beraksi di siang hari, ketika hendak menyimak persidangan rekannya terlibat baku hantam di  klub malam Blowfish di sebuah dini hari, jauh sebelum hari itu. Dendam membara membuat buta;   maka ketika azan Zuhur usai berkumandang sesosok supir bis Kopaja – - yang belum tentu menjadi bagian dua kubu bentrokan – - lalu  berangkat ke alam baka. Kepergiannya begitu memilukan, tak layak untuk dideskripsikan. Berkaca ke film The Godfather, lalu mencoba membumi kepada apa yang telah terjadi, bukan suatu berlebihan bila desakan akan membasmi laku pre4manisme secra terang-terangan menjadi darurat dilakukan. Mengapa darurat? Pertama di kala  kebebasan pers saat ini, liputan media akan kekerasan yang ada seketika merambah jagad raya. Maka tersiarlah kabar betapa rusuh dan bar-barnya Indonesia. Sehingga upaya panjang menahun membenamkan triliunan rupiah upaya membangun citra positif bangsa seketika terhenyak menjadi sia-sia. Belanja pencitraan itu menggunakan uang rakyat. Otomatis preman menjadi bagian menyia-nyiakan uang rakyat.  Lebih dari itu secara hukum, di kamus penegakan keadilan setetespun kata tidak  ada yang dapat dipakai membenarkan laku premanisme. Karenanya pembasmian preman ke akar-akarnya kini tak bisa lagi basa-basi. Dan bukan suatu rahasia pula kini, publik sesungguhnya mafhum  bahwa di balik sang preman, ada “peternaknya”. Mereka  menernakkan dan memelihara  preman yang  bila ditelisik, bagi kebutuhan  firma hukum,  indikasi perbankan memakai debt colector, bahkan hingga oknum polisi memerlukan kenekadan perangai preman. Maka mengikis habis secara kaffah preman itu, tiada lain juga memerlukan para polisi macam sosok Eliot Ness,  nun  di kisah penangkapan Al Capone, secara visual bagaikan di film The Untouchables. Kisah penangkapan Al Capone, kini menjadi hidangan cerita bagi FBI, AS, jika kita bertandang ke kantor-kantornya di negeri Paman Sam itu. Sudah seharusnya di level Kepolisian RI kini bergerak cepat bak Eliot Ness,  bila tidak,  kita  semua berbangsa berada dalam cengkeraman preman; bukan saja menakutkan, tetapi lebih membuat bangsa terpuruk buruk.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline