Kementrian komunikasi dan informasi juga humas bangsa dan negara. Peran membangun citra bangsa ada di tangan pers bebas. Kebebasan pers akan terus didorong oleh Partai Demokrat. Urusan kematangan pers sendiri menjadi kewajiban media.
[caption id="attachment_274367" align="alignleft" width="238" caption="Demo Kebebesan Pers (kompas.com)"][/caption] MENGENANG senandung September Ceria dinyanyikan Vina Panduwinata dengan aransemen musik oleh Adhie MS, melambungkan kenyamanan di hati. Namun 29 September 2010 kemarin, bisa jadi dada Anda berontak sesak, bila menyimak kabar kerusuhan Tarakan, berlanjut ke kabar visual dua kelompok pemuda berpedang, bersangkur, berpanah, baku hantam bahkan bersenjata api dar der dor di Jl. Ampera, Jakarta Selatan. Langit Jakarta mendung. Di belahan Timur Jakarta, di Kantor DPP Partai Demokrat berada, di jam makan siang itu hujan sontak membesar. Alam seakan menangis. Tepian jalan basah mengalir berair. Visual maupun berita tertulis tentang peristiwa Tarakan, terlebih kasus di Jl. Ampera, Jakarta Selatan, menghiasi berbagai media, terutama televisi dan online. Maka menyebarlah ke berbagai ranah, tak terkecuali menggapai manca negara. Medium komunikasi menguasai ruang dan waktu itu, memang seakan serempak berisi, mengkristal ke benak pemirsa, merambah pembaca di luar negeri, betapa bar-bar dan rusuhnya Indonesia. Apalagi berita itu kemudian menjadi sajian berbagai media asing. Lengkaplah patron tidak amannya Indonesia. Sebuah media online mewawancarai saksi mata yang melihat bagaimana seoarang supir bis Kopaja. Tangan sang supir ditebas, lalu mukanya, maaf, disayat – - kami tentu tak tega melanjutkan deskripsi – - mencerminkan pelaku bahwa jasadnya seakan tidak lagi berisi ruh manusia. Dalam keadaan demikian, televisi terutama, terbawa dalam semangat eksklusif mendapatkan gambar dari peristiwa, lalu berlomba-lomba menyiarkannya. Di tempo demikian, bisa jadi tak ada lagi filter, pertimbangan kebijakan, mana sebuah visual pantas, etis, untuk dihidangkan. Dan jika kalimat ini kami paparkan, bisa jadi media, jurnalis berdalih, apa tak paham bahwa kini eranya pers bebas. Urusan kebebasan pers, Partai Demokrat, Presiden SBY, memiliki komitmen penuh bahkan mendorongnya. Tetapi urusan profesionalisme pers, menjadi persoalan media sendiri. Dan seyogyanya media kian mematangkan seharusnya. Implikasi pemberitaan visual vulgar, khususnya, telah membuat citra Indonesia di luar negeri; betapa negeri ini terlihat rusuh, kasar, baku bunuh. Triliunan pun rupiah dibenamkan membangun opini postif bangsa ini, bisa disaput blablas dari pemberitaan vulgar seperti kejadian di Jl. Ampera kemarin. Hingga kenyataan itu, pantas kita bertanya, apakah di ranah media, pers, tidak ada aturan atau kewajiban bagi dirinya sendiri untuk menguji mempertimbangkan dampak akan citra bangsa atas sebuah berita yang mereka tayangkan? Adakah hal ini selama ini menjadi pembahasan di Dewan Pers, atau di lingkungan media masing-masing? Agaknya kalangan media sendiri yang dapat menjawabnya. ANDA masih ingat sosok Harmoko di era Orde Baru? Di Sekretariat negara ia menyampaikan ke media, “Sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden ..,” biasanya keterangannya berlanjut ke urusan ekonomi hingga mikro harga kebutuhan pokok, “Harga cabe merah keriting di ….” Kami tentu tak ingin mengajak Anda kembali ke era itu. Tetapi jika ingin belajar sejarah, ada sesuatu positif dari info yang sentral tentang harga kebutuhan pokok yang diinfokan dengan jelas, memberikan kepastian bagi sebuah pasar. Peran yang dilakukan Harmoko, adalah fungsi Hubungan Masyarakat (Humas) Negara. Dan jika kerendahan hati kita melihat dari sisi positif ada, setidaknya ada bagian kecil kehumasan bangsa ke luar negeri dalam tatanan di eranya berjalan baik. Bandingkan dengan hari ini. Sebuah lembaga dibentuk pemerintah bertajuk Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Di lembaga ini seharusnya pencitraan negara, bangsa bisa dibangun. Namun entah mengapa, dalam perkembangan kini, peran itu seakan tak tampak, bahkan tak kian terasa. Ambillah contoh pada kasus kolom Kolonel Adjie Suradji menulis mengkritik tajam Panglima Tertinggi, Presiden Sby, di opininya di sebuah koran ternama di Jakarta. Tak setetes kata pun keluar dari Kemenkominfo memberi latar secara jernih ke publik; ihwal siapakah sosok Adjie. Dan media massa, dengan langgam kebebasannya, bisa dikatakan hampir semuanya tidak memiliki animo verifikasi, reportase mendalam; bahkan sebaliknya mengamini isi kritikan sang Adjie. Bahkan ada organisasi pers yang begitu getol mendukung pernyataan Adjie. Padahal jika kerendahan hati verifikasia ada, lebih jauh Kemenkominfo memiliki keinginan menjadi Humas negara, pastilah ada pemaparan ke publik bahwa: Adjie Suradji telah lima tahun tidak memiliki posisi di kedinasan, ia sedang menunggu keputusan pengadilan militer, indikasi kejahatannya menjual tanah milik negara. Ia terindikasi kriminil. Kejahatannya dipastikan adanya. Akibat fakta yang tak tersampaikan ke publik oleh sebuah Humas negara, maka sosok cacad moral berbicara pula tentang esensi moral mengritisi panglima tertingginya itu, lantas menjadi pahlawan dadakan. Begitulah. Kini kita hidup di alam kebebasan pers yang seharusnya kian matang. Bukan matang lalu membonyokkan citra bangsa. Di lembaga negara di bidangnya, tuntutan sikap menjadi Humas negara dan bangsa, kini tidak bisa lagi berjalan sekadar mengiri waktu, tetapi bekerja keras berlaku dinamis proaktif, bahkan harus lebih dinamis dari langgam kebebasan yang dianut pers. Bukankah hal ini salah satu fungsi Kemenkominfo? ***