Lihat ke Halaman Asli

Dari Humas Bangsa Hingga Kelalaian di Adji Suradji

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kementrian komunikasi dan informasi juga humas bangsa dan negara. Peran membangun citra bangsa ada di tangan pers bebas. Kebebasan pers akan terus didorong oleh Partai Demokrat. Urusan kematangan pers sendiri  menjadi kewajiban media.

[caption id="attachment_274367" align="alignleft" width="238" caption="Demo Kebebesan Pers (kompas.com)"][/caption] MENGENANG senandung September Ceria dinyanyikan  Vina Panduwinata dengan aransemen musik oleh Adhie MS, melambungkan kenyamanan di hati. Namun 29 September 2010 kemarin, bisa jadi  dada Anda berontak  sesak, bila menyimak kabar kerusuhan Tarakan, berlanjut ke  kabar visual dua kelompok pemuda  berpedang, bersangkur, berpanah, baku hantam  bahkan bersenjata api dar der dor di Jl. Ampera, Jakarta Selatan. Langit Jakarta mendung. Di belahan Timur Jakarta, di  Kantor DPP Partai Demokrat berada, di jam makan siang itu hujan  sontak membesar. Alam  seakan menangis.  Tepian jalan basah mengalir berair. Visual maupun berita tertulis tentang peristiwa  Tarakan, terlebih kasus di Jl. Ampera, Jakarta Selatan, menghiasi berbagai media, terutama televisi dan  online. Maka menyebarlah ke berbagai ranah, tak terkecuali menggapai manca negara. Medium komunikasi menguasai ruang dan waktu itu,  memang seakan serempak berisi, mengkristal ke benak pemirsa, merambah pembaca di luar negeri, betapa bar-bar dan rusuhnya Indonesia. Apalagi berita itu kemudian menjadi sajian berbagai media asing. Lengkaplah patron tidak amannya Indonesia. Sebuah media online mewawancarai  saksi mata yang melihat bagaimana seoarang supir bis Kopaja. Tangan sang supir  ditebas,  lalu mukanya, maaf,  disayat   – - kami tentu tak tega  melanjutkan deskripsi  – - mencerminkan pelaku bahwa jasadnya seakan  tidak lagi berisi ruh manusia. Dalam keadaan demikian, televisi terutama, terbawa dalam semangat eksklusif mendapatkan gambar dari peristiwa, lalu berlomba-lomba menyiarkannya. Di tempo demikian, bisa jadi tak ada lagi filter, pertimbangan kebijakan, mana sebuah visual pantas, etis, untuk dihidangkan.  Dan jika kalimat ini kami paparkan, bisa jadi media, jurnalis berdalih, apa  tak paham bahwa kini eranya pers bebas. Urusan kebebasan pers, Partai Demokrat, Presiden SBY, memiliki komitmen penuh  bahkan mendorongnya. Tetapi urusan profesionalisme pers, menjadi persoalan media sendiri. Dan seyogyanya media kian  mematangkan seharusnya. Implikasi pemberitaan visual vulgar, khususnya, telah  membuat citra Indonesia di luar negeri; betapa  negeri ini terlihat rusuh, kasar, baku bunuh. Triliunan pun rupiah dibenamkan membangun opini postif bangsa ini, bisa disaput blablas dari pemberitaan vulgar seperti kejadian di Jl. Ampera kemarin. Hingga kenyataan itu, pantas kita bertanya, apakah di ranah media, pers, tidak ada  aturan atau kewajiban bagi dirinya sendiri untuk menguji mempertimbangkan dampak akan citra bangsa atas sebuah berita yang mereka tayangkan? Adakah hal ini selama ini menjadi pembahasan di Dewan Pers, atau  di lingkungan media masing-masing? Agaknya kalangan media sendiri yang dapat menjawabnya. ANDA masih ingat sosok Harmoko di era Orde Baru? Di Sekretariat negara ia menyampaikan ke media, “Sesuai  dengan petunjuk Bapak Presiden ..,”  biasanya keterangannya berlanjut ke urusan ekonomi hingga mikro harga kebutuhan pokok, “Harga cabe merah keriting di ….” Kami tentu tak ingin mengajak Anda kembali ke  era itu. Tetapi jika ingin belajar sejarah, ada sesuatu positif dari info yang sentral tentang harga kebutuhan pokok yang diinfokan dengan jelas, memberikan kepastian bagi sebuah pasar. Peran yang dilakukan Harmoko, adalah fungsi Hubungan Masyarakat (Humas) Negara. Dan jika kerendahan hati kita melihat dari sisi positif  ada, setidaknya ada bagian kecil kehumasan bangsa ke luar negeri dalam tatanan di eranya berjalan baik. Bandingkan dengan hari ini. Sebuah lembaga dibentuk pemerintah bertajuk  Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Di lembaga ini seharusnya pencitraan negara, bangsa  bisa dibangun. Namun entah mengapa, dalam perkembangan kini, peran itu seakan tak tampak, bahkan tak kian terasa. Ambillah contoh pada kasus kolom Kolonel Adjie Suradji  menulis mengkritik tajam Panglima Tertinggi,  Presiden Sby,  di opininya di sebuah koran ternama di Jakarta. Tak setetes kata pun keluar dari Kemenkominfo memberi latar secara  jernih ke publik; ihwal siapakah sosok Adjie. Dan media massa, dengan langgam kebebasannya, bisa dikatakan hampir semuanya tidak memiliki animo verifikasi, reportase mendalam; bahkan sebaliknya mengamini isi kritikan sang Adjie. Bahkan ada organisasi pers yang begitu getol mendukung pernyataan Adjie. Padahal jika kerendahan hati verifikasia ada, lebih jauh Kemenkominfo memiliki keinginan menjadi Humas negara, pastilah ada pemaparan ke publik bahwa: Adjie Suradji telah lima tahun tidak memiliki posisi di kedinasan, ia sedang menunggu keputusan pengadilan militer, indikasi kejahatannya menjual tanah milik negara. Ia terindikasi kriminil. Kejahatannya dipastikan adanya. Akibat fakta yang tak tersampaikan ke publik oleh sebuah Humas negara, maka  sosok cacad moral berbicara pula tentang esensi moral mengritisi panglima tertingginya itu, lantas menjadi pahlawan dadakan. Begitulah. Kini kita hidup di alam kebebasan pers yang seharusnya kian matang. Bukan matang lalu  membonyokkan citra bangsa.  Di  lembaga negara di bidangnya,  tuntutan sikap  menjadi Humas negara dan bangsa, kini tidak bisa lagi berjalan sekadar mengiri waktu, tetapi bekerja keras berlaku dinamis proaktif, bahkan harus lebih dinamis dari langgam kebebasan yang dianut pers. Bukankah hal ini salah satu fungsi Kemenkominfo? ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline