Lihat ke Halaman Asli

Setitik Asa di Tempat Pembuangan Akhir

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal dan berteman dengan sampah, itulah keseharian ratusan warga di Dusun Ama Ory, Desa Passo Kecamatan Baguala, Kota Ambon, Maluku. Namun tak ada rasa jijik. Mereka gigih dan teguh melakoni pekerjaan sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, untuk menyambung hidup. Juga turut menjaga lingkungan kota berjuluk Manise ini dari bencana pencemaran sampah.

**

Bau busuk sudah menyengat dari jarak ratusan meter. Meski menggunakan masker, baunya masih menembus indra penciuman. Tumpukan sampah organik dan anorganik berbagai jenis dan ukuran ini berjejar di kiri-kanan jalan dari arah desa Passo ke TPA dan UPTD Instalasi Pengolaan Sampah Terpadu (IPST) yang terletak di dusun Ama Ory.

Lalat beterbangan dan hinggap bergantian diatas tumpukan-tumpukan sampah. Ada yang sudah dibersihkan dan dipisahkan berdasarkan jenis, ada juga masih dibiarkan berserakan. Beberapa sudah dikantongi dalam karung dan siap di jual ke penimbang.

Disamping tumpukan-tumpukan sampah setinggi satu meter itu, berdiri sekitar 6 gubuk berukuran 3x2 meter hingga 4x6 meter yang dipakai pemulung untuk menampung sampah hasil memulung. Selain menampung sampah yang sudah dibersihkan, para pemulung juga memanfaatkannya sebagai tempat istirahat usai bekerja sebelum kembali ke rumah.

Selain tempat istirahat, terdapat sebanyak 6 rumah permanen milik pemulung yang sebagian besar bangunannya menggunakan bahan bekas pakai. Terutama atap (seng) dan tripleks sebagai dinding. Pemulung yang mempunyai rumah permanen adalah mereka yang tinggal menetap di lingkungan IPST sejak dan beberapa tahun setelah TPA dibuka.

***

Sabtu (7/2), langit mendung disertai gerimis menemani aktifitas pemulung. Beberapa pemulung baru tampak bergegas masuk ke pintu masuk IPST menuju lapangan sampah (tempat penumpukan sampah raksas) untuk memilah sampah yang laik jual. Selain sampah plastik, kaleng, besi tua, karung, kardus, mereka juga mencari sisa-sisa makanan untuk dijadikan makanan ternak (babi).

Sampah-sampah yang ditumpukan di lapangan ini diangkut oleh mobil sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan dari seluruh Tempat Pembuangan Sampah (TPS)setiap hari. Biasanya, pada saat proses pengangkutan dari TPS, sampah-sampah ini masih dalam kondisi bercampur.

Ata Reik (29), salah satu pemulung yang berasal dari Pulau Kisar, Maluku Barat Daya, mengaku, dari hasil memulung bisa membantu biaya sekolah anak-anaknya yang menempuh pendidikan di Kisar. “Jadi uang hasil memulung ini yang akan saya kirimkan ke Kisar untuk biaya sekolah,”tutur Ata Reik tanpa merinci besar jumlah uang yang biasanya ia kirim.

Ata panggilan akrabnya, punya alasan tersendiri untuk memilih merantau ke Benteng Karang dan bekerja sebagai pemulung. Selain mengikuti jejak ibunya yang lebih awal menjadi pemulung, keinginan lain karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di daerah asalnya.

“Alasan saya memulung, karena di wilayah tenggara (MBD) sulit untuk mendapat uang. Karena itu, saya minta izin kepada suami untuk datang ke Benteng Karang menjadi pemulung limbah sampah. Semata untuk menambah biaya sekolah anak-anak di Kisar,”ungkap Ata yang saat kami temui tengah siap dengan seragam lengkap ala pemulung. Sepasang jenggel boats hijau muda,topi, karung dan sebuah gancu. Hujan hari itu, bukan penghalang.

Perempuan berkulit coklat ini, sudah menjadi pemulung sejak 2011 silam. Setelah bekerja selama dua tahun ia berangkat ke Kisar menengok keluarganya. Barulah pada Oktober 2014, Ata kembali melanjutkan pekerjaan sambil membantu ibunya yang juga salah satu penimbang sampah di Benteng Karang, sebutan lain dusun Ama Ory sebelum dijual ke pihak lain atau penggiling sampah di Passo dan Gunung Nona.

Pendapatan pemulung tidak dipastikan dan sangat tergantung dari berapa banyak jumlah sampah yang dikumpulkan dalam sehari. Selain itu, juga dari harga sampah yang tidak menentu. Rata-rata setiap hari ia mampu mengumpulkan sampah sebanyak 20 kilogram.

“Dulu, bagi siapa saja yang tidak mempunyai kartu atau sengaja tidak menggantukannya, dilarang oleh petugas untuk melakukan aktivitas memulung di IPST. Tapi sekarang sudah bebas,”kenangnya sambil berlalu menuju pintuk masuk IPST.

DARI JIJIK JADI BERKAH

Bagi Gina Kemasala (45), TPA Sampah ini sudah menjadi sebuah oase ditengah gurun. Selama tujuh tahun menekuni pekerjaan memulung, Gina telah berhasil menyekolahkan salah satu anaknya sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Ambon. Sementara dua anaknya yang lain baru sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Gina merupakan salah satu generasi pertama pemulung Benteng Karang sejak TPA Toisapu dibuka. Di masa awal bekerja, Gina dan suaminya yang sudah beberapa tahun lalu menderita stroke ringan, membangun gubuk untuk tempat tinggal. Seiring bertambahnya penghasilan, ia mengubah gubuk tersebut menjadi rumah meski masih berdinding papan.

Saat pertama kali TPA Sampah dibuka, hanya ada sekitar 3 orang pemulung yang melakukan aktifitas. Pendapatannya pun cukup lumayan. Setiap harinya bisa mengumpulkan sebanyak 20-an kilogram sampah berbagai jenis. Namun, saat ini menyusut rata-rata 5 sampai 10 kilogram sampah.

Kehadiran TPA Sampah dirasakan benar-benar membantu ekonomi warga yang berprofesi sebagai pemulung. Selain memulung, ia juga membeli sampah. Setelah itu akan dijual ke tempat pemecah plastik. Untuk botol Aqua bening dibeli dengan harga 2000 rupiah dan dipasok ke pemecah plastik dengan harga 3000 rupiah per kilogram.

Selain sampah kata Gina, pemulung juga mengumpulkan sisa-sisa makanan yang akan dijadikan makan ternak (babi). Satu karung plastik berat 25 kilogram dihargai 30.000 rupiah dari harga sebelumnya 25.000 rupiah.

Melihat propespeknya yang baik, warga Dusun Ama Ory (Benteng Karang), berbondong menjadi pemulung. Gina mengatakan, jika pada awalnya baru puluhan pemulung, kini berdasarkan data UPTD IPST jumlahnya meningkat menjadi 3000-an orang. Semuanya merupakan warga Dusun Ama Ory dan 2 orang luar, yakni dari Gunung Nona dan Passo.

“Kalau giat memulung, dalam satu bulan saya bisa mendapatkan uang sekitar 1 sampai 2 juta rupiah. Jadi boleh dikata, roh duniawi yang saat ini bisa menghidupi kami, hanyalah dari pekerjaan ini,”tutur Gina sembari memberikan trik, jika mau mendapatkan sampah yang banyak,baiknya memulug malam hari.

Suparman (60), salah satu penimbang sampah di tempat ini mengatakan, kehadirannya di tengah-tengah pemulung sangat bermanfaat. Selain membayar tunai hasil para pemulung, pria asal Solo, Jawa Tengah ini juga memberikan panjaran (uang muka) kepada pemulung jika ada kebutuhan mendesak.

“Kalau saya gak datang nimbang, maka perputaran ekonomi warga setempat berkurang. Kalau ada kebutuhan mendadak, biasanya mereka bisa meminjam nanti di potong saat penimbangan. Ini hutang untuk membiayai keperluan anak mereka yang sekolah,” ujar Suparman yang ditemani istrinya setiap hari datang dari Galunggung untuk menimbang sampah hasil memulung warga setempat.

Pada momentum tertentu seperti menjelang Natal dan Tahun Baru, pemulung ramai-ramai menjual sampah yang telah dikumpulkan selama dua sampai tiga minggu. Namun, sebagai pembeli, Suparman mengaku, harganya sedikit menurun karena banyaknya sampah.

Harga yang diambil Suparman untuk satu kilogram botol plastik, sama dengan penimbang lainya, yakni berkisar antara Rp100 sampai Rp3000. Namun pada bulan tertentu, biasanya ia menaikan harga beli hingga mencapai 6000 rupiah.

Sampah-sampah yang ia dapatkan kemudian dipasok kepada agen pemecah plastik di Passo, Poka, Warasia dan Gunung Nona dan Benteng Karang. Kalaupun ada penimbang lain yang ingin membeli sampah milik pemulung, harus mendatangi langsung lokasi kampung sampah ini.

“Saya pernah timbang sampah milik salah satu pemulung yang telah dikumpulkan sebelumnya selama 2 minggu. Hari itu pemulung tersebut mendapatkan uang cas sebanyak 3 juta rupiah,”kisahnya.

SULIT MENDAPATKAN AIR

Dusun Ama Ory, Desa Passo berada diketinggian. Terutama kawasan sekitar IPST TPA Beneteng Karang dusun Ama Ory sekitar 3000 kaki diatas permukaan laut. Kontur tanah yang berbatu membuat warga sulit mendapatkan air meski sudah melakukan penggalian puluhan meter. Kemudian akses transportasi yang hanya menggunakan ojek (sepeda motor dengan penumpang dua orang), kian menambah beban para pemulung.

Ketersediaan air bersih untuk memasak, mandi dan keperluan lainnya merupakan sesuatu sangat mahal bagi mereka. Akibat tidak adanya air bersih, Gina biasanya membeli 1 drum air dengan harga Rp12.000 setiap hari. Sedangkan 1 Tangki, seharga Rp175.000.

Dulu memang ada mesin yang menyedot air sungai yang berada di kaki gunung. Tapi entah masalahnya apa, mesin itu tidak fungsikan lagi. Jika pemulung memilih mencuci pakaian ke sungai untuk menghemat ketersedian air bersih, biaya yang dikeluarkan Rp20.000 sehari menggunakan Ojek.

Angkot memang tidak masuk sampai ke pemukiman warga Dusun Ama Ory. Hanya Ojek, transportasi andalan satu-satunya bagi warga. Tapi keberadaan TPA Sampah, menjadi asa bagi pemlung untuk tetap mengonsumsi air bersih sebagai kebutuhan dasar kehidupan, meski cukup merogek kocek.

SENTUHAN GEREJA

Menilik kehidupan para pemulung yang kian membaik berkat kehadiran TPA Sampah, pihak Gereja Protestan Maluku (GPM) Ama Ory, Benteng Karang, tergerak hati membantu. Selain membantu dari sisi peribadatan, juga secara langsung bersama Dinas Kesehatan Kota Ambon menggelar pengobatan gratis.

Ketua Majelis GPM Benteng Karang, Pendeta Susan Belegur mengatakan, mayoritas warga yang punya pendapatan rendah, lebih cenderung bekerja sebagai kuli sampah (pemulung). Pendeta Susan mengaku, potensi ekonomi dari pekerjaan pemulung cukup menjanjikan.

Hal ini ditandai dengan adanya renovasi rumah, membiayai sekolah anak-anak mereka dan memiliki kendaraan (motor) meskipun itu hanya di kredit.

Pihak gereja mengakomodir para pemulung dalam sebuah wadah Persekutuan Pemulung Jemaat GPM Benteng Karang yang baru terbentuk dan dilantik tahun kemarin. Acara Pelantikannya dihadiri langsung Walikota Ambon, Richard Louhenapessy. Dari 300-san pemulung, sekitar 120 lebih KK yang masuk dalam persekutuan dan yang terlibat dalam ibadah mingguan.

Peran Gereja Benteng Karang turut membantu pemulung dari aspek kesehatan. Di tahun 2014, dua kali Gereja melakuan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan. Selain itu, Gereja juga bekerjasama dengan salah satu Optik di Manado untuk pengadaan kaca mata bagi pemulung dengan harga murah. Pembagian sembako juga pernah dilakukan atas kerjasama Gereja dengan Toko Sinar Makro.

Perempuan parubaya ini mengaku, dari hasil pemeriksaan kesehatan, ditemukan sebagian pemulung terindasi mengidap penyakit Paru-paru dan Kista. Karena itu, pemulung diperingati agar sarapan yang cukup sebelum memulung. Dibantu Mahasiswa KKN dari UKIM Ambon, pihak Gereja membagikan handskol (sarung tangan) dan masker kepada para pemulung.

“Selain itu, yang mereka butuhkan sekarang juga adalah sepatu Jenggel boats. Sebab mereka kontak langsung dengan bakteri yang menempel dengan sampah. Untuk Jenggel boats ini, kami merasa berat. Pasalnya, kami sangat terbatas soal dana,”katanya.

Meski sudah beberapa kali aspirasi pemulung yang ikut disuarakan pendeta Susan untuk mengetuk rasa empatipemerintah Kota Ambon, namun belum tersambut dengan baik. Terutama soal ketersediaan air bersih yang sampai saat ini masih terasa sulit didapatkan... (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline