Kekuasaan sering menjadikan beberapa orang lupa daratan dan menganggapnya sesuatu yang kekal abadi dibawa sampai mati -ma'adzallah-. Sehingga orang yang memiliki 'mental sakit' seperti ini pun merasa bahwa orang lain yang tidak lebih berkuasa darinya bisa dia kendalikan semaunya. Bahkan terkadang dengan penuh ketidakadilan dia memperlakukan orang-orang yang lemah lantaran terlena dengan kuasa yang dia miliki.
Tetapi fakta sejarah masa lalu membuktikan secara jujur dan adil bahwasanya tidak selamanya orang yang berkuasa itu bisa terus berkuasa, dan tidak selamanya orang-orang yang lemah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang lemah tak berdaya adalah Dzat yang menciptakan kehidupan ini, sehingga sangat mudah sekali bagi-Nya untuk merubah yang lemah menjadi para penguasa, atau minimal membuat susah orang-orang yang dulu mendhaliminya.
Kisah kehidupan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan orang-orang yang berjuang bersamanya rasanya tidak pernah habis untuk diambil sari manisnya, bak lebah yang menghisap madu bunga-bunga.
Tersebutlah perjanjian Hudaibiyah, sebuah perjanjian yang pada awalnya banyak mendapatkan sangkalan dari ummat islam sendiri, mengingat poin-poin perjanjian yang secara dhahir terlihat berat sebelah. Namun waktu membuktikan bahwa ternyata perjanjian itu adalah salah satu tangga menuju kemenangan yang nyata.
Salah satu poin yang ada di perjanjian tersebut adalah bahwa jika orang-orang muslim yang datang dari Quraisy dan ingin bergabung bersama Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- di Madinah maka mereka wajib di kembalikan ke Makkah jika tidak mendapatkan izin dari walinya. Tetapi sebaliknya, jika ada orang muslim yang datang dari Madinah ke Makkah maka mereka tidak wajib di kembalikan.
Surat perjanjian pun di sepakati dengan ditandatangani beberapa saksi dari masing-masing pihak. Dari Quraisy yang diwakili Suhail bin 'Amr dan Mukraz bin Hafsh. Sementara dari Muslimin diwakili beberapa orang termasuk Abdullah bin Suhail, anak dari Suhail bin 'Amr yang telah masuk islam menyelisihi ayahnya.
Pasca perjanjian itu maka bisa dikatakan bahwa kabilah Arab terbagi menjadi 2 golongan antara kabilah yang mengikat perjanjian dengan kafir Quraisy dan kabilah yang mengikat diri dengan kaum muslimin.
Beberapa saat pasca perjanjian tersebut ternyata dari kejauhan datanglah Abu Jandal, saudara dari Abdullah bin Suhail. Dia melarikan diri dari tahanan ayahnya di Makkah dan ingin bergabung bersama kaum muslimin.
Namun sungguh malang nasibnya, karena momentum kedatangannya kurang tepat. Tentu saja ayahnya, Suhail bin 'Amr tidak mengizinkan anaknya bergabung dengan kaum muslimin. Abu Jandal terus berteriak meminta pertolongan. Tetapi apa daya, kontrak perjanjian telah diteken. Dan mengingkari perjanjian bukan sifat seorang muslim meskipun itu dilakukan dengan orang kafir sekalipun.
Saat itulah Rasulullah berpesan kepada Abu Jandal, "Bersabarlah wahai Abu Jandal, semoga Allah memberikan jalan keluar dan pertolongan untukmu."
Selain Abu Jandal ternyata ada yang mencoba melakukan usaha serupa pasca perjanjian itu. Dialah Abu Bashir yang lari dari Makkah ke Madinah untuk meminta pertolongan dan agar diterima bergabung bersama Kaum Muhajirin dan Anshar. Tetapi sungguh malang nasibnya, jawaban yang diterimanya tidak berbeda dengan jawaban yang diterima Abu Jandal.