Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ali Reza

belajar sepanjang hayat

Senja di Situ Ciburuy

Diperbarui: 16 Agustus 2021   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika berbicara senja, pikirku langsung menerawang kepada puisi Chairil Anwar---pelopor penyair angkatan 45---yang berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil." Tapi ini bukan mengenai kisah cinta laiknya Chairil kepada Sri Arjati. Melainkan mengenai kondisi Danau Ciburuy (selanjutnya ditulis Situ) saat ini. Sebuah letak geografis cekungan yang berisi air tawar dan ekosistem di dalamnya baik yang mikro maupun makro. Situ Ciburuy sedang dalam tahap renovasi. Tanahnya dikeruk lagi menggunakan beko, diperdalam, terutama bagian sisi tertentu. 

Ketika sore tadi aku melintasi jalan di bibir situ Ciburuy, aku melihat air di situ Ciburuy surut. Aku berhenti sejenak menepikan motor. Lalu turun ke bawah melalui tangga, melihat dari jarak dekat: situ Ciburuy. Kapasitas air di situ Ciburuy memang tidak seperti dahulu, kini menyurut. Ditepian banyak cangkang-cangkang keong juga kondisi air yang 'kotor', kondisi tanah yang menyentuh ke situ Ciburuy pun berwarna gelap, mirip dedak pada kopi hitam. Saking surutnya, tinggi air yang dekat pulau (daratan kecil di tengah situ) setinggi dada orang dewasa. Tepi situ yang tidak tergenang air, sebagian dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam: menanam sayuran.

Cuaca sore tadi terik. Aku dan Rara turun ke bawah hanya sebentar, menemani Rara yang sedang berlari-lari kecil di tepian situ Ciburuy mengejar anak ayam. Aku pun mengikutinya dari belakang khawatir Rara jatuh karena permukaan tanah tak cukup rata ditambah rerumputan tinggi yang membuat langkah Rara sesekali terhenti.

Setelah bermain sebentar, kami menepi ke atas kembali. Duduk di bawah pohon rindang beristirahat sejenak sembari sembunyi dibalik teriknya mentari dan menikmati semilir angin sepoy-sepoy. Minum, duduk di bangku, sembari menunggu pesanan seblak datang.

O..ya, setiap sore, di jalanan yang menyisir situ, ada odong-odong (mobil yang dimodif sedemikian rupa yang dapat memuat orang banyak di dalamnya). Odong-odong, mungkin menjadi hiburan bagi warga sekitar. Laiknya Bandros di kota Bandung, hanya saja tak ada pemandu di dalamnya. Katanya, rutenya mengelilingi jalanan di samping situ. Tapi ada juga yang rutenya sampai ke Sudimampir atau Baloper. Start dan finish sesuai tempat kita. Misal kita start di dekat tukang seblak tadi, maka finishnya pun di dekat tukang seblak lagi. Merogoh kocek lima ribu rupiah untuk sekali jalan. Ibu-ibu, terutama yang membawa balita menjadi penumpang mayoritas, tapi ada juga muda-mudi yang naik odong-odong tersebut. Menikmati suasana senja hari. Sebelum hari gelap.

Padalarang, 15 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline