Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Musala di Tempat Umum

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat itu, saya sedang mengikuti ajang perlombaan karya tulis ilmiah. Tepatnya saat saya masih menduduki kelas 1 SMA, karya tulis ilmiah yang saya lombakan berkesempatan untuk dipresentasikan di salah satu pesantren ternama di kota Jombang. Sebut saja pesanten tersebut, pesantren X.

Pesantren X ini tidak seperti pesantren yang saya tempati, yang terletak di sebuah desa dengan bangunan standar, namun kokoh sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Pesantren X ini bagi saya sudah cukup mewah, memiliki beberapa bagian asrama, SMA, maupun Aliyah, serta didirikan sejajar di satu daerah perkotaan kota Jombang.

Kesan pertama saat saya akan melakukan presentasi lomba, cukup membuat saya tercengang. Bangunannya tertata rapi dengan dominan warna merah muda, menguatkan kesan saya bahwa pesantren X ini cukup modern.

Ekspektasi tersebut masih belum berubah selama hampir seharian saya melakukan presentasi. Bahkan ketika memasuki waktu salat Zuhur, acara presentasi diistirahatkan sejenak dan peserta lomba bisa melakukan salat, sampai saat itu juga belum ada yang berubah karena kebetulan saya sedang tidak salat.

Sayangnya, ketika sore hari dan acara sudah selesai, ketika saya ingin menggunakan toilet sambil menemani teman saya untuk menunaikan salat Asar. Tepat ketika itu, ekspektasi saya tentang pesantren ini berubah total, terdapat pemandangan yang mencemari kekaguman saya di awal tentang pesantren X ini.

Saya sangat heran melihat letak Musala yang menyempil di belakang. Saya yakin awalnya tempat itu bukan Musala, hanya kemudian seperti tersadar jika bagunan besar dan mewah ini tidak memiliki Musala, maka ruangan kecil sekitar 2 x 2 meter itu mendadak difungsikan sebagai Musala. Saya bertaruh, jika hendak membandingkan, toilet yang berjejer dan tepat berada di depan Musala jauh lebih bagus dari pada Musala itu sendiri.

Antara perasaan kecewa dan miris, karena kejadian tersebut saya temukan di salah satu bangunan pesantren yang megah dan mempesona. Baiklah, berbaik sangka, siapa tahu arsiteknya khilaf tentang hal ini, atau bahkan siapa tahu sekarang, beberapa pihak atasan pesantren X tengah mempersiapkan bangunan Musala yang jauh lebih layak di suatu tempat yang belum saya ketahui. Siapa tahu.

Sejak kejadian tersebut, kemanapun saya bepergian ke suatu tempat yang saya perhatikan pertama kali ialah letak dan kondisi Musalanya. Termasuk ketika saya mengunjungi suatu kampus yang berada di bawah naungan pesantren lain, sebut saja pesantren Y.

Di sana letak Musalanya jauh lebih baik, tidak berada di pojokan paling belakang dekat toilet. Sedangkan dari segi ukuran juga sudah cukup besar, walaupun masih dalam tahap renovasi.

Saya tidak tahu siapa pihak yang paling bertanggungjawab terkait fenomena Musala tersebut, si pemilik utama atau si perancang utama. Kasus ini marak sekali terjadi di beberapa pusat perbelanjaan maupun bangunan besar di daerah perkotaan.

Kasus sederhana lainnya saya temukan di toko buku paling besar di daerah ibu kota, dengan isinya yang super lengkap, ternyata memiliki Musala yang justru tidak layak. Letaknya saja ternyata menyempil di tempat paling pojok, keluar dari tempat parkir, dengan kondisi yang cukup mengenaskan dan kurang terawat.

Tidak bisa ya, tidak harus diletakkan di tempat parkir, dan jika salat kadang mendengar deru mesin knalpot mobil ataupun motor. Tidak bisa ya disediakan lantai khusus untuk Musala, atapun bagian agak tersembunyi dari lantai supaya jika salat tidak bising. Atau jika memang harus terletak di tempat parkir, rancangan Musalanya diperbagus, tidak ecek-ecek seperti Musala di beberapa stasiun yang kurang terurus.

Bukankah seharusnya, semakin bagus suatu gedung, Musalanya juga semakin bagus. Bukan sebaliknya, dan hal tersebut masih banyak berlaku di beberapa tempat seperti mall, hotel, maupun tempat-tempat umum lainnya.

Bahkan saya pernah mendengar cerita teman saya. Ketika itu dia melakukan tes masuk di salah satu perusahaan besar di Indonesia, dia menceritakan bahwa di antara gedung mewahnya, sama sekali tidak terdapat Musala, bahkan dia sudah bertanya ke Bapak satpam dan mendapatkan jawaban yang tidak terduga.

“Gedung ini memang tidak memiliki Musala, jika mbak mau salat, mbak jalan dulu ke luar, nanti juga melihat Musala, tapi memang agak jauh”

Teman saya kaget setengah mati, terlebih ketika dia bertemu dengan beberapa orang yang sengaja menertawakannya saat bertanya di mana letak Musala. Saya pikir dia masih di Indonesia, di tempat mayoritas umat muslim terbesar di dunia. Namun kenyatannya, masih terdapat deskriminasi terkait tempat ibadah utama umat islam, mengesampingkan keberadaan Musala di tempat-tempat strategis yang banyak disinggahi umat muslim setiap harinya.

Lalu, akhirnya teman saya menunaikan salat di mana?

“Akhirnya aku menunaikan salat di Toilet An. Dan aku catat baik-baik nama perusahaan tersebut, apapun hasil tesku nanti, sekalipun aku diterima, akan aku tolak mentah-mantah. Sangat kecewa diperlakukan seperti itu, merasa diinjak-injak sebagai umat islam”

Jangankan dia, saya saja yang mendengar ceritanya sempat meringis, ikut geram.

“Masih ada ya kejadian seperti itu di Indonesia?”

Berbeda jika mall ataupun tempat umum di luar negeri, dengan agama islam yang masih menjadi minoritas di sana. Dosen saya pernah mengungkapkan kebingungannya ketika hendak melaksanakan salatZuhur, sementara dirinya masih terjebak di perjalanan, dan jarak untuk menuju Musala yang terdekat lumayan jauh, terlebih dulu harus singgah ke kampung imigran Pakistan, sangat tidak efisien. Bisa-bisa waktu salat sudah tidak bersisa.

Akhirnya, dosen saya dan temannya nekat salat di ruang ganti. Benar, ruang ganti di salah satu toko baju, sambil berpura-pura akan membeli baju, sengaja memilih baju secara acak, lalu masuk ke ruang ganti, dan melakukan ibadah shalat di dalamnya.

“Kamu yakin kita tidak akan ditangkap jika melakukan hal tadi?” Awalnya dosen saya sempat ragu,

“Percayalah, kegiatan salat hanya kita lakukan beberapa menit. Pasti bukan sesuatu yang mencolok untuk dilakukan di ruang ganti” Temannya meyakinkan dosen saya untuk melakukan hal menegangkan tersebut,

“Tidak ada jalan lain, kecuali jika memang bersedia shalat di pinggir jalan raya”

**

Beberapa fenomena tentang Musalah di atas sebetulnya sama sekali tidak merubah apapun tentang kekuasaan dan keagungan Allah. Allah masih tetap di singgasanaNya tanpa perlu mengkhawatirkan bahwa ada yang berkurang dari kedudukanNya sebagai pemilik alam semesta. Sama sekali tidak ada yang berubah, bahkan bukankah kita masih bisa mengingat Allah di manapun dan kapanpun. Tidak juga harus bertemu dengan Musala terlebih dahulu, bukankah ibadah salat dapat dilakukan di manapun, dengan kondisi yang paling terdesak sekalipun, begitu bukan?

Hanya, kejadian ini tentu membuat saya sedih. Tuhan semesta alam, raja di atas raja, hanya mendapatkan porsi kecil di rancangan pembangunan suatu tempat, tempat untuk mengingatNya selama lima waktu dalam sehari menjadi yang paling akhir diingat, hanya disediakan tempat seadanya, begitu terabaikan.

Entah, saya ingin sekali bertemu dengan seorang arsitektur handal yang sudah menangani banyak rancangan pembangunan, lantas mengajukan pertanyaan seberapa penting kaum mereka mengartikan substansi suatu tempat ibadah, seperti contoh kecilnya, Musala bagi umat islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline