Istilah pembangunan berkelanjutan mulai terkenal setalah digunakannya istilah ini dalam buku milik Lester R. Brown di tahun 1981 yang diambil dari The International Union for The Conservation of Nature-IUCN yang kemudian juga digunakan dalam World Comission on Environment and Development yang didalamnya berisikan laporan yang membahas hubungan anatar aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang diberi judul Our Common Future.
Dalam parktiknya sendiri, pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk melindungi keberlangsungan proses-proses alam agar tetap terjaga dari pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagi sebuah upaya untuk melindungi sumber daya yang terbatas dengan permintaan yang terus miningkat setiap waktunya.
Dalam perkembangannya, istilah ini terus meluas dan menjadi sebuah gagasan yang sangat baik diterapkan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini dimaksudkan agar tetap menjaga kelestarian kota tersebut untuk membentuk kawasan hunian yang nyaman untuk ditinggali. Dalam bukunya, Prof. B.S. Kusbiantoro juga menyebutkan terdapat enam komponen tata kelola perkotaan yang dibutuhkan untuk negara berkembang agar sustainable atau berkelanjutan.
Enam komponen tersebut yakni Proses perencanaan yang komprehensif; Adanya daya saing atau ekonomi kota yang unggul; Lahan dan bentuk kota; Infrastruktur dan pengelolaan layanan; Institusi perkotaan; Inti dan pinggiran kota. Tentu saja, pengelolaan perkotaan ini bertujuan untuk membentuk sebuah sistem yang berkelanjutan.
Untuk mencapai sistem yang berkelanjutan tentunya dibutuhkan sebuah ruh atau nyawa yang memberikan inisiasi atau rangsangan, dimuali dengan adanya ide pengembangan kota, basis pendukung (managerial support, SDM, dan infrastruktur), inovasi agenda, dan dampak yang bisa dirasakan oleh semua masyarakat.
Untuk menangani permasalahan kota yang semakin beragam dan semakin kompleks, tentunya juga dibutuhkan sebuah strategi. Permasalahan perkotaan yang dihadapi di Indonesia lebih condong terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh meningkatnya populasi penduduk perkotaan. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya populasi penduduk di perkotaan yakni urbanisasi.
Menurut data yang dipaparkan oleh United Nations tahun 2014, menyebutkan bahwa tren dunia saat ini sekitar 54% dari total jumlah penduduk bumi bertempat tinggal di perkotaan (Pramono, 2014). Pada tahun yang sama, Organisation for Economic Co-operation and Development memaparkan bahwa pada tahun 2050, 70% dari total populasi di dunia akan tinggal di perkotaan. Sehingga dalam kurun waktu tersebut, akan terjadi percepatan pembangunan karena naiknya konsumsi lahan untuk dijadikan bangunan.
Tentu saja, hal ini juga menimbulkan pemborosan energi, karena semakian banyak konsumsi energi yang dibutuhkan oleh manusia. Permasalahan ini, tentunya membutuhkan tanggapan dari pemerintah untuk memberikan kebijakan yang mengatur tata kelola perkotaan agar mampu tercipta keserasian. Salah satunya yakni dukungan pemerintah untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur baru.
Sebuah pendekatan baru diharapkan dapat menjadi sebuah solusi bagi tata kelola perkotaan, khususnya dalam membentuk tata guna lahan dan bentuk kota. Pendekatan baru tersebut yakni, Compact City, atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Kota Kompak.
Kota Kompak adalah sebuah konsep penataan kota dengan membentuk lahan-lahan perkotaan seefisien mungkin untuk mampu menampung berbagai aktivitas manusia didalamnya dengan mengedepankan aksesibilitas yang baik dan pengehematan energi. Hal inilah yang kemudian menjadikan Kota Kompak mampu berperan dalam menciptakan sistem yang berkelanjutan.
Kota Kompak memilki peranan dalam menciptakan pola ruang yang kompak, yang terhubung sistem transportasi dan akses terhadap pelayanan publik dan tempat kerja. Konsep yang dbawa Kota Kompak ini memungkinkan terjadinya kemudahan akses masyarakat dalam menjangkau tempat kerja dan fasilitas publik lainnya tanpa perlu mengandalkan kendaraan pribadi.