Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Lippo Fokus ke Cikarang?

Diperbarui: 21 Agustus 2017   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.propertyandthecity.com

Pada mulanya, Cikarang---daerah yang berjarak sekitar 45 Km dari Jakarta---adalah kawasan di ujung Bekasi yang tandus, kering, dan berbukit-bukit. Lokasinya yang jauh membuat tak banyak perusahaan properti melirik lahan di sana untuk dikembangkan.

Adalah Grup Lippo yang menjadi salah satu pengembang yang melihat potensi di wilayah di Kabupaten Bekasi itu. Setelah Lippo Karawaci masuk melalui PT Lippo Cikarang Tbk (anak usaha Lippo Karawaci), barulah pengembang lain mulai ikut mengembangkan Cikarang menjadi kota perdagangan industri, seperti Kota Deltamas (grup Sinarmasland, residensial pertama tahun 2002), PT Cowell Development Tbk dan PT PP Properti Tbk (anak usaha PT PP Tbk).

Sebetulnya sudah ada Kawasan Industri Jababeka milik PT Kawasan Industri Jababeka Tbk sejak tahun 1989, tapi geliat residensial baru tampak semarak setelah hadir Lippo Cikarang dan kini Cikarang menjadi kawasan bisnis, kota mandiri yang juga memacu perkembangan di wilayah sekitarnya.

Setelah Lippo membangun perumahan elite di sana dan merilis proyek residential baru yakni Orange County pada 2015 (megaproyek terintegrasi seluas 322 hektare), Grup Lippo memulai megaproyek Meikarta yang di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi. Rencananya Meikarta akan dialokasikan untuk pembangunan perumahan, taman, tower dan sarana lain seperti universitas, dan lain-lain dengan lahan yang disiapkan 130-140 hektare dan bakal berkembang sampai 500 hektare.

Kendati saat ini proyek Meikarta tengah menjadi perbincangan publik soal izin, tapi proyek senilai Rp278 triliun ini menurut James Riady, CEO Lippo Group, dalam situs resmi Meikarta, berpotensi mengalahkan DKI Jakarta, karena memang disiapkan menjadi pusat perekonomian terbesar di Nusantara.

Titik balik

Namun jauh sebelum Meikarta dicanangkan, titik balik bisnis Lippo di Cikarang sebetulnya terjadi pada tahun 1990, ketika Presiden Soeharto berkuasa di bawah era Orde Baru. Seperti diceritakan Mochtar Riady, pendiri LippoGroup, dalam buku otobiografinya terbitan Kompas tahun 2016 berjudul "Manusia Ide, Mochtar Riady", pada tahun 1990 itu terjadi masa penyesuaian ekonomi, tingkat suku bunga tinggi, ekonomi lesu, inflasi tinggi, dan banyak perusahaan mulai kesulitan modal. Kondisi yang tidak kondusif ini memicu tingkat kredit macet perbankan tinggi.

Dalam kondisi demikian, LippoBank, yang dikendalikan James Riady, putra Mochtar Riady, terpaksa mengambilalih tiga bidang tanah yang sangat luas sebagai barang sitaan kredit macet. Lahan tersebut berlokasi di luar Jakarta, dua bidang tanah yang tandus dan kering berada di timur Jakarta (Cikarang) berjarak sekitar 45 Km, dan satu bidang lagi di barat Jakarta (Karawaci), berjarak 25 km dari Jakarta dengan kontur yang sama: kering, gersang, tanpa tumbuh-tumbuhan.

"Tiga bidang lahan seluas 70 Km persegi itu mau diapakan? Masih menjadi tanda tanya besar bagi saya," begitu kata Mochtar Riady dalam buku setebal 336 halaman yang diedit oleh Tandjung KT itu.

Untuk mencari solusi bagaimana memanfatakan tiga lahan seluas itu, salah satu orang terkaya di Indonesia itu pergi ke beberapa kota maju di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Taipe, hingga Shenzen. Nah di Shenzen-lah dirasa kondisinya mirip dengan tanah hasil sitaan kredit macet itu, untuk dikembangkan menjadi kawasan perdanganan dan perumahan elite.

Seperti kita ketahui tanah pertama di Karawaci kini berkembang menjadi kota mandiri yang begitu apik, nyaman, aman, dengan berbagai fasilitas modern. Setelah itu Lippo Karawaci mengembangkan lahan kedua di Cikarang lewat anak usahanya, Lippo Cikarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline