Lihat ke Halaman Asli

Pulang, dari Tere Liye

Diperbarui: 10 Januari 2016   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel ini gila, jangan tertipu judulnya.

Sudah lama mendengar nama Tere Liye di dunia sastra, tapi belum pernah membaca novelnya. Hanya sekali saya menonton sebuah film layar lebar berjudul Hafalan Sholat Delisa yang diangkat dari buku Tere Liye dengan judul yang sama.

Suatu hari, istri saya membeli 10 buku, kebanyakan fiksi termasuk novel. Mungkin sedang kesurupan ingin membaca di rumah. Anda dua novel Tere Liye yang dia beli, Pulang dan Rindu. Novel Pulang dirilis pada September 2015, sedangkan Rindu sudah lama dirilis pada 2014. Semula saya belum tertarik, dari judulnya saja kurang menarik, bisa jadi ceritanya biasa saja.

“Bukunya bagus tau,” kata dia meyakinkan.

Keseringan dia bilang begitu, saya jadi ingin tahu, sebagus apa sih. Jangan-jangan dia aja yang lebay. Tapi setelah melihat dia menikmati betul, saya penasaran.

Pulang menjadi incaran pertama. Butuh dua hari untuk melahap 400 halaman. Memang sudah banyak yang meresensi buku Tere, tapi tak apalah. Apa salahnya berbagi pendapat, siapa tahu saya bisa menulis seperti Tere Liye.

Tere memulai bab pertama buku ini dengan deskripsi suasana yang begitu menegangkan untuk sebuah buku berjudul sederhana, Pulang:

Malam itu di tengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi rasa takut.”

Melihat judulnya, saya mengira novel ini mengambil tema perjalanan, tentang seseorang yang ingin kembali ke kampung halaman atau orang tuanya, kekasihnya atau siapa pun yang dikasihi. Apalagi sampulnya cantik, berwarna biru dengan motif seakan terkelupas, memperlihatkan ada sunrise, seperti novel romantis. Tidak salah sih sepenuhnya, tema utama memang pulang, tapi bumbunya luar biasa: tauke, mafia, gangster, samurai, sniper, pertempuran, tukang pukul, tembak menembak, kesetiaan, pengkhianatan, dan shadow economy.

Buku ini bercerita tentang tokoh Bujang, seorang anak kampung di pedalaman Sumatra. Ayahnya, Samad, adalah tukang pukul kesohor di Keluarga Tong. Samad pensiun karena kakinya pincang setelah menyelamatkan bosnya. Bujang tak pernah makan bangku sekolah, ia hanya anak dusun yang dididik sendiri oleh Mamaknya, termasuk belajar agama meski ditentang Samad lantaran dendam masa lalu dengan mertuanya.

Jalan hidup Bujang berubah. Suatu ketika, mereka kedatangan Tauke Muda, sahabat Samad yang juga penerus bisnis Keluarga Tong usai Tauke Tua meninggal. Kedatangan Tauke Muda dan rombongannya saat itu ingin menangkap babi hutan yang mengganggu perkebunan warga. Dalam perburuan ini, Tauke mengajak Bujang bergabung, ajakan yang awalnya ditentang sang ibu. Tapi siapa sangka, meski usianya baru 15 tahun, Bujang menjadi penyelamat rombongan dalam perburuan yang mencekam itu. Dia melawan babi hutan raksana seberat sekitar 500 kilogram di hutam rimba, sendirian dengan tombak, sementara yang lain sudah tumbang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline