Lihat ke Halaman Asli

Dee

Freelancer, wattpad addict

Apa yang Salah dengan KPop?

Diperbarui: 29 April 2020   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oke, tulisan ini mungkin agak berbeda dengan tulisan-tulisanku yang sebelumnya. Kalau sebelumnya aku cenderung membahas tentang hal-hal yang sedikit berat atau..hot issue?? Kali ini aku mau membahas tentang KPop. Yup. Korean Pop, jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan (wikipedia.org). 

Secara pribadi, awalnya aku bener-bener nggak menemukan ketertarikan dengan musik jenis ini. Bisa dikatakan malah cenderung...kesal? Ya. Waktu masa Sekolah Menengah Pertama, sekolahku memiliki dua jenis jurusan, Reguler dan SBI. Anak-anak dari kelas SBI cenderung berorientasi internasional dan katakanlah kami melokal. Karena itu, begitu KPop mulai dikenal, beberapa lagu milik SUper Junior maupun SNSD sering terputar di sana, membuat kelas kami tekadang jengah. 

Tapi, memasuki masa Sekolah Menengah Atas, melalui kejadian tak terduga. Salah satu tugas musik mengharuskan kami memilih lagu untuk praktik. Aku mulai mencari referensi dari Youtube dan atensiku terpusat pada salah satu lagu akustik beraliran KPop. Dari sanalah, kecintaanku pada musik Kpop bermula. 

Banyak yang menyatakan bahwa musik KPop merupakan salah satu bentuk 'penjajahan budaya' ke generasi muda. Secara pribadi, harus diakui, IYA. Itu adalah salah satu bentuk penjajahan budaya dengan pendekatan seni. Melalui KPop, mereka berusaha menyajikan hal-hal menarik dan candu untuk para peminatnya. 

Mulai dari visualisasi wajah yang menarik, jenis suara yang berkualitas, kualitas video yang bukan main-main, konsep musik dan video yang begitu luar biasa dan satu lagi, mereka menyediakan 'wadah' bagi para fans untuk berinteraksi dengan idolanya. Tidak hanya itu, dengan internasionalisasi KPop, mereka melihat peluang bahwa mereka juga mempromosikan pariwisata juga upaya untuk peningkatan ekonomi Korea Selatan. Menjadikan para aktor, aktris serta idol sebagai Brand Ambassador pariwisata (sebut saja BTS dan EXO) maupun perwakilan dalam pertemuan bilateral, diharapkan mampu mendapuk peningkatan devisa negara. 

Tidak hanya di bidang budaya, pariwisata maupun ekonomi, Kpop atau yang akrab disebut sebagai Halyu Wave juga perlahan memasuki ranah fashion. Berbagai pagelaran fashion, baik regional maupun internasional berusaha menggaet beberapa tokoh maupun idola berpengaruh dari Korea Selatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada banyak hal yang mampu dipelajari dari cara Korea Selatan memperluas pengaruhnya di dunia internasional. Tidak mencolok namun dominan? bisakah dikatakan seperti itu? bisa. 

Satu hal yang sejak pertama kali mengenal budaya KPop membuatku terkagum, cara mereka mempertahankan keaslian budaya dan sejarah. Bagaimana cara mereka merawat bangunan, lokasi serta menghormati aset budaya lainnya. Kalau kalian melihat video ataupun film yang menyertakan jejak sejarah, kalian akan sangat sulit menemukan coretan-coretan tangan dalam situs bersejarah di sana. Rekonstruksi bangunan juga akan dibuat semirip mungkin dengan aslinya. 

Bukan mau mendiskreditkan masyarakat sendiri soal hal seperti ini, tapi mari bersama-sama mengevaluasi diri, bercermin bahwa kita jauh lebih buruk dalam menghargai budaya sendiri, jauh lebih tak berpendidikan tapi tak pernah mau dikatakan tak berpendidikan. Selalu merasa paling benar, coret sana-sini, dengan asumsi agar diapresiasi orang lain. Kawan, kualitas diri masyarakat itu tercermin dari apa yang mereka 'KONSUMSI'. Tak usah banyak menggali, cukup dari tontonan, apakah banyak tontonan di negara kita yang berbobot? Tidak, tapi tentu saja ada yang baik. 

Masyarakat kita tak pernah berfikir bahwa tontonan akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang serta pola pikir manusia, sepertinya. Ini ditunjukkan dengan penayangan SINETRON bergenre DEWASA pada jam EFEKTIF anak-anak/ remaja saat belajar. Menyajikan cerita monoton soal kehidupan seorang upik abu yang bertemu dengan pangeran tapi tak disetuji oleh si ibu pangeran, berakhir dengan dramatik dimana sang upik abu berhati mulia tak pernah membalas perlakuan keji si ibu pangeran. Cerita yang berangsur sampai ribuan episode itu kadang membuat muak. 

Dengan tokoh dan pasangan yang tak pernah berganti, seolah terstigma kalau sang tokoh tersebut memang hanya terlahir untuk memerankan tokoh protagonis maupun antagonis sebagai peran di layar kaca. Ada salah dua sinetron yang menguatkan persepsiku bahwa pekerja hiburan di tanah air, mayoritas tak pernah menyuguhkan KUALITAS, hanya sebuah karya tanpa ASA demi tumpukan lebaran kertas bergambar Soekarno-Hatta. Ya. Sinetron 'Tukang Bubur Naik Haji dan Anak Langit'. Maaf kalau saya sebutkan di sini, tapi apa yang tertulis sebagai judul dan jalan cerita tidak sinkron sama sekali. Satu lagi, anak langit? Yang benar saja...sinetron itu juga sama saja, justru membawa dampak buruk pada pertumbuhan anak-anak kecil di lingkungan masyarakat. Gaya hidup mewah dengan balap motor dan adu kekuatan justru menjadi ikon utama di cerita itu. 

Oh..ayolah, apa tidak ada daya imajinatif yang lebih elok disajikan? apakah otak kalian sudah otomatis ter setting untuk membuat kisah cinta dan tema cerita melankolis juga kurang berandil dalam perkembangan tumbuh anak seperti itu? Entah, hanya para pegiat hiburan itu yang tahu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline