Lihat ke Halaman Asli

"Pribumi" (tidak) Berbeda dengan "Keturunan"

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang pernah baca salah satu karya Dewi Lestari yang berjudul Petir ? Diantara seri novel supernova, buku inilah yang paling saya suka. Novel ini bercerita tentang Elektra, biasa dipanggil Etra, seorang anak perempuan keturunan tionghoa, yang tumbuh di lingkungan pribumi dan dididik seperti layaknya seorang pribumi. Disana diceritakan bagaimana tidak enaknya si tokoh utama menjadi amfibi di dua dunia, sering mendapat diskriminasi ketika berbaur dengan pribumi, namun sering “ga nyambung” ketika berkumpul dengan saudara- saudaranya yang masih menerapkan budaya tionghoa di kehidupan mereka.

Baru baca beberapa halaman depan pun saya sudah sadar kemiripan tokoh utama dengan diri saya. Saya yang “dibilang” keturunan tionghoa hanya karena bermata sipit dan berkulit kuning, pada dasarnya dibesarkan dilingkungan yang kental akan nilai- nilai islam. Orang tua saya selalu menyekolahkan saya ke sekolah negeri. Bahkan saya sempat disekolahkan di madrasah sore, karena orang tua saya merasa pelajaran agama di sekolah negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama saya.

Tapi ternyata background islam yang ada dalam diri saya tidak cukup untuk membuat saya “tidak berbeda” dari yang lain.

Maka jujur, kalau kita bicara diskriminasi, hal itu sudah sering saya alami dari kecil. Saya tidak bermaksud meng-generalisir, banyak teman- teman saya yang menerima saya apa adanya tanpa menyentil satu isu pun tentang ras atau darimana saya berasal. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang memandang kalau saya seakan- akan saya ini makhluk asing. Walaupun sudah terbiasa dan saya tahu itu cuma kelakar, telinga inipun seperti teriris saat panggilan “cina” dilontarkan oleh orang- orang sekitar.

Waktu kecil saya sering berpikir, apakah mereka memanggil saya “cina” cuma karena mereka semua berkulit cokelat dan bermata lebar sedang saya tidak? Bagaimana membuat mereka mengakui kalau saya juga orang Indonesia?Apakah manusia memang sulit untuk menerima perbedaan? Sebegitu rumitnyakah hidup sebagai orang yang berbeda di Negara kita yang katanya berasaskan bhinneka tunggal ika?

Maka akhir- akhir ini, saya pun semakin geram melihat isu SARA menghiasi berita politik tanah air. Disini saya menulis sebagai pihak netral, tapi izinkanlah saya memberi satu contoh kasus nyata yang terjadi pada pemilu kali ini.

Satu capres sempat dikabarkan bahwa beliau keturunan cina, yang akhirnya menjadi berita hangat di sosial media. Terlepas betul atau tidaknya, melihat besarnya animo masyarakat mengomentari isu tersebut, bisa kita lihat ternyata pola pikir masyarakat kita masih terkungkung oleh persepsi akan adanya perbedaan hak warga Negara antara yang mereka sebut “keturunan” dan “pribumi”. Walaupun akhirnya terungkit kalau ternyata kabar itu cuma rekaan belaka, tapi kalaupun itu fakta, apakah kita harus setuju akan pernyataan bahwa seseorang tidak boleh menjadi pemimpin di negara ini cuma karena karena dia dianggap “keturunan”? Apakah asal- usul sebegitu penting dalam memilih seorang pemimpin? Apakah kami yang kalian sebut “keturunan” tidak memiliki hak yang sama untuk membangun negara ini dibanding kalian yang menyebut diri kalian “pribumi"?

Faktanya, saya tidak memilih untuk dilahirkan sebagai keturunan, dan kalian juga tidak punya hak meminta kepada Tuhan agar dilahirkan sebagai seorang pribumi. Sama seperti kalian, diatas kertas saya adalah warga Indonesia, tumbuh dibesarkan dengan nilai dan adat nusantara. Kampung halaman saya di atas tanah jawa sana. Sejauh- jauhnya saya pergi, keujung dunia pun, pada akhirnya kesanalah saya akan kembali. Sebab hati saya memang milik tanah air. Bukan milik cina. Bukan milik bangsa manapun.

Dan saya pun yakin begitu juga dengan kalian.

Lalu mengapa kita harus mengkotak-kotakan diri kita satu sama lain dengan tembok egoisme akan dari mana kita berasal, walaupun kita tahu kita berdiri diatas bumi yang sama? Mengapa kita musti membedakan siapa yang “pribumi” dan siapa yang “keturunan” ketika kita sadar bahwa kita harus bersatu, bahu membahu, untuk membangun negara yang kita cintai bersama, Indonesia?

Harapan saya, Indonesia beberapa tahun kedepan adalah bangsa yang sepenuhnya merdeka, terutama merdeka dari belenggu pemikiran yang selama ini menutup mata kita bahwa terlalu banyak hal yang harus kita benahi untuk bangsa ini daripada menghabiskan waktu untuk berdebat tentang perbedaan dan darimana kita berasal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline