Oleh Tabrani Yunis
Tanggal 25 Juni 2022 lalu, Satupena Aceh yang dipimpin oleh D' Keumalawati, penyair yang sudah sangat dikenal di Aceh dan Nusantara menyelenggarakan sebuah kegiatan bedah buku yang bertemoat di Bale Ihsan, Pango Raya, Banda Aceh.
Ini merupakan kegiatan bedah buku pertama sekali sejak lembaga itu dibentuk atau didirikan di Aceh. Bedah buku yang pertama ini, membedah sebuah buku antologi puisi tunggal, berjudul " Kulukis Namamu di Awan" karya Tabrani Yunis.
Ya, karya penulis sendiri yang dikumpulkan atau dihimpun dari puisi-puisi penulis yang telah dimuat di beberapa media, seperti majalah POTRET, www.potretonline.com, www.cakradunia.co, dan Kompasiana.com. Maka, di cover depan buku itu ditulis sehimpun puisi Tabrani Yunis.
Hadir sebagai pembedah, Drs. Mukhlis, M.Hum, dosen bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala (USK). Beliau juga abang letting, saat bersekolah di sekolah Pendidikan Guru ( SPG) Negeri Banda Aceh.
Namun, relasi itu tak boleh memengaruhi sikap kritis dan tajam dalam membedah buku antologi itu. Kegiatan bedah buku yang dihadiri sekitar 40 peserta berjalan lancar dengan diskusi yang begitu produktif.
Ada yang menarik dalam acara tanya jawab, seorang peserta menyampaikan atau mengekspresikan beberapa hambatan dalam menggubah puisi yang membuat dirinya berkesimpulan bahwa menulis puisi itu sangat sulit. Sementara seorang peserta lain, menyela bahwa menulis puisi itu gampang. Ya, tidak seperti menulis karya ilmiah atau opini yang biasa dikirim ke media cetak atau media online. Benarkah begitu?
Keduanya bisa benar, karena kedua fakta itu bisa terjadi ketika seseorang menulis atau menggubah puisi. Secara empiris di masyarakat kita, bila kita bertanya pada mereka tentang menulis, apakah menulis ( menggubah) puisi atau menulis artikel, cerpen dan sejenisnya, mudah atau sulit? Maka, banyak orang yang berkata " saya tidak bisa menulis".
Lalu, bila ditanyakan mengapa tidak menulis, jawabannya karena menulis itu sulit atau tidak mudah alias tidak gampang. Itulah jawaban yang sangat lazim ditemukan di tengah masyarakat umum dan juga di kalangan siswa, mahasiswa dan bahkan yang sudah menyandang gelar sarjana.
Ini membuktikan bahwa menulis puisi itu memang sulit, apalagi puisi-puisi berat yang penikmat puisi pun harus mampu mencerna makna yang terkandung dalam puisi tersebut.