Oleh Tabrani Yunis
Hari ini, tiba-tiba keinginan menulis muncul lagi tatkala membaca tulisan- tulisan teman di media sosial dan media lainnya. Salah satu tulisan yang memantik keinginan adalah ketika membaca judul " Ketika Milenial Melirik Sektor Pertanian" di akun resmi Kompasiana edisi 04 November 2021. Mengapa tulisan ini ini menarik? Salah satu jawabannya adalah karena judulnya.
Sebuah judul yang menimbulkan sikap skeptif, karena terasa rada aneh. Ya aneh saja bila membaca atau mendengar bahwa para milenial bisa melirik atau memberikan perhatian kepada sektor pertanian. Bukan hanya itu, bahkan judul tulisan respon terhadap tulisan tersebut ikut dalam nada bertanya, Milenial Melirik
Sektor Pertanian? Mengapa demikian?
Begitulah gambaran keraguan akan tertariknya kaum milenial terhadap sektor pertanian. Nah, apa yang membuat munculnya sikap skeptif dan rasa aneh dengan ungkapan milenial tertarik di sektor pertanian itu dilatarbelakangi oleh beberapa alasan.
Pertama, selama ini banyak yang memahami bahwa dunia kaum milenial adalah dunia digital yang menjanjikan prospek kehidupan yang begitu mudah dan pesat.
Sementara sektor pertanian tidak menjanjikan prospek yang lebih gemerlap dan cendrung menghabiskan banyak tenaga, waktu dan biaya.
Sementara gaya hidup milenial adalah gaya hidup kekinian yang serba instant alias cepat saji. Dapat dipastikan bahwa terjun ke sektor pertanian membutuhkan kesabaran, ketekunan, passion, berani mengambil risiko gagal dan memang harus selalu gigih serta tekun serta menguras tenaga dan pikiran. Ya, tidak instan.
Kedua, secara emperis, pengalaman selama ini di kalangan orang tua yang sejak lama hidup, berprofesi petani cenderung menyiapkan anak-anak mereka keluar dari sektor pertanian.
Para orang tua tersebut menyekolahkan anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, seperti menjadi pegawai negeri, bisa sebagai guru, polisi, tentara dan lainnya di luar sektor pertanian.
Kecuali kalau tidak mendapatkan pekerjaan, kembali ke kampung halaman, menganggur. Celakanya, setelah menjadi sarjana, merasa minder untuk bekerja menggarap sawah atau ladang yang dahulu ditinggalkan.