Oleh Tabrani Yunis
Sikap skeptis itu langsung muncul ketika membaca ada berita mengenai Sertifikasi Perkawinan, sebuah kebijakan yang diwacanakan oleh Menko PMK, Muhajir Effendi di media, termasuk di Kompasiana. Mengapa demikian? Ya, sikap yang muncul untuk mempertanyakan sesuatu yang dirasakan masih meragukan terhadap sebua wacana atau kebijakan yang mungkin akan diberlakukan.
Jadi, terus terang, ketika membaca judul berita mengenai sertifikasi pernikahan atau perkawinan tersebut, pertanyaan pertama yang muncul adalah ini kebijakan apa-apaan?
Bahkan, lebih lanjut bertanya sambil klaim mengapa Menko yang satu ini mewacanakan hal atau kebijakan yang aneh-aneh? Lalu, muncul pula prasangka buruk, jangan-jangan ini kebijakan yang tidak populis dan hanya atau sekadar mencari popularitas. Begitulah pertanyaan dan prasangka yang muncul kala membaca hal ini.
Kelihatannya, sikap ini sangat umum dan lazim di dalam masyarakat kita. Syukur-syukur kalau sikap skeptis itu muncul, ketika sudah membaca, memahami dan menganalisisnya, baru disikapi secara skeptis. Namun, sayangnya pula, berita atau wacana itu belum tuntas dibaca, belum difahami atau dimengerti, apalagi dianalisis?
Ya, sudah langsung memberikan respon yang bukan hanya sekadar menertawakan, tetapi langsung memberikan banyak komentar. Begitulah yang terjadi dalam menyikapi wacana sang Menko, Muhajir Effendy ini.
Penulis sendiri pun, sebelum memahami dengan benar tentang wacana ini, langsung memberikan komentar ketika ada yang bertanya, perlukan sertifikasi perkawinan?
Tanpa memahami dengan benar, tanpa melakukan kajian atas wacana tersebut, penulis langsung menjawab tidak perlu dan bertanya pula, untuk apa buku nikah yang sudah di tangan?
Bukan hanya itu, bahkan muncul dalam pikiran bahwa Pak Muhajir Effendy terbawa pikiran dengan program serifikasi guru, karena beliau sebelumnya adalah menteri Pendidikan dan Kebudayaan, republik Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah yang dimaksudkan dalam wacana tersebut demikian?
Eh, ternyata tidak. Jujur saja, penulis baru kemudian memahami wacana tersebut, setelah membaca secara tuntas, mencerna dan kemudian menganalisisnya. Buku nikah, tidak perlu dibenturkan dengan sertifikasi atau bimbingan ptanikah.
Maka, setelah memahami konsep yang ditawarkan, muncul kesadaran baru dengan memberikan jawaban bahwa program bimbingan pranikah yang diberikan kepada kedua calin mempelai, baik mempelai laki-laki, maupun perempuan itu perlu.