Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

1989-1998

Diperbarui: 22 Mei 2019   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Amnestyindonesia.org

Oleh Tabrani Yunis

Tersebutlah kisah di masa silam. Seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan,  negeri kami diselimuti kegelapan. Negeri Iskandar Muda diguncang kegundahan, Genderang perang mencabik-cabik rasa kemanusian, bau mesiu merebak tak tertahan, Siang malam mencium bau kematian

Berita penembakan dan pembunuhan menjadi santapan di meja makan. Kematian menjadi kebiasaan. Seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan,  malam kian mencekam dalam ketakutan. Ledakan, letusan adalah kematian. Bau permusuhan kian menyengat ke ujung dahan

Anak-anak yang berangkat ke pengajian menyeruap malam dalam ketakutan, perempuan-perempuan yang terpaksa menggadaikan nyawa sebagai tawanan. Para suami hilang di awang-awang, tak mengenal jalan pulang. Siang dan malam berfatamorgana dalam gelap mencekam, Orang-orang kecil terbirit-birit ketakutan. Negeri kami tengah dirundung malang.  Kematian terus  bertengger di ujung nafas. Ketakutan demi ketakutan mengkristal

Sepuluh tahun itu masa kegelapan yang berkepanjangan.
Sepuluh tahun  itu, hidup didera penderitaan, Sepuluh tahun  semua dihantam kekerasan. Sepuluh tahun menikmati siksaan,Sepuluh tahun mendekam dalam ketakutan. Itulah kisah di negeri darurat perang, tak jelas kawan, tak jelas lawan,  ketakutan  menghimpit - himpit kehidupan, Kekerasan adalah jalan, kekerasan menjadi pilihan, Kekerasan melahirkan banyak korban. Bunga bangsa berguguran.

Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, matahari menyingsing membawa harapan. Negeri yang dicabik-cabik amarah nan resah berubah, Tuhan menurunkan anugerah, mengurangi debur ombak kemarahan, membungkam kemarahan, menghentikan kematian.  Para korban perang menerima udara segar bersama sejuknya angin malam. Burung-burung malam kembali bernyanyi, mengurangi beban sekian lama diemban. Bau darah tak lagi anyir diterbangkan bayu yang berhembus di per tiga malam. Kurun waktu sepuluh tahun adalah pelajaran, konflik dan perang bukan sebuah kemenangan. Sepuluh tahun  itu adalah masa-masa  rindu akan kedamaian. Damai, damailah negeriku

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline