Suara deru mesin sepeda motor mengaum-ngaum di sepanjang jalan di kota Banda Aceh Aceh sore ini, usai waktu ashar. Ratusan Sepeda motor tersebut dikenderai oleh oleh anak-anak muda yang mereka adalah para siswa SMA Kelas XII yang hari ini melepaskan status siswa SMA setelah menyelesaikan UNBK dan USBK. Para mantan siswa ini melakukan konvoi keliling kota dengan cara-cara mereka, tanpa peduli akan risiko di jalan raya. Ada yang boncengan lebih dari dua orang.
Mereka menguasai atau merajai jalan. Baju seragam yang biasanya dipakai untuk ke sekolah, hari ini pakaian seragam sekolah yang biasanya berwarna putih dan abu-abu tersebut sudah berubah. Baju dan celana seragam sekolah tersebut sore tadi berubah warna, dari putih dan abu-abu menjadi warna-warni, karena sudah dicat dengan cat pilox.
Bukan hanya pakaian, bahkan rambut dan wajah mereka juga ikut dicat. Sehingga, pakaian yang seharusnya masih bisa digunakan tersebut, berakhir hari ini. Baju tersebut tidak akan pernah bisa lagi digunakan oleh mereka bahkan juga orang-orang lain yang sebenarnya sangat membutuhkan pakaian seragam untuk bisa bersekolah.
Hari ini, tampaknya para mantan siswa SMA tersebut masih melanjutkan warisan generas sebelumnya yang setiap usai ujian akhir atau setiap kali momentum pengumuman kelulusan, para siswa yang langsung menjadi mantan usai membaca pengumuman kelulusan tersebut, langsung mencoret-coret pakaian seragam mereka.
Mereka seakan membenci almamater mereka. Mereka melampiaskan rasa kegembiraan mereka dengan mencoret-coret pakaian seragam. Bukan hanya itu, bahkan dalam keadan lepas kontrol dari orang tua, mereke melakukan konvoi dengan sepeda motor, sambil berteriak-teriak kegirangan. Seakan-akan itulah cara terbaik untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah. Padahal, cara-cara seperti sebenarnya sudah kuno, sudah tidak cerdas, sudah tidak edukatif.
Pantas saja, banyak orang yang berceloteh melihat tingkah mereka. Banyak yang berkata, sekolah kita sudah gagal mendidik anak-anak kita. Ya, orang tua juga semakin kehilangan arah dalam mendidik anak-anak mereka. Mengapa demikian? Idealnya, setelah mereka tamat atau menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA atau sederajat, perilaku buruk seperti yang mereka perlihatkan sore ini tidak akan terjadi. Bila mereka memiliki perilaku baik. mereka pasti akan meiliki kepekaan yang baik.
Mereka pasti akan melampiaskan rasa gembira mereka dengan bersyukur. Bila mereka bisa bersyukur kepada Allah, maka mereka tidak mencoret-coret pakaian mereka. Apalagi pakaian mereka tersebut masih sangat layak pakai. Mereka bisa donasikan pakaian tersebut kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan. Mereka bisa memberikan pakaian layak pakai tersebut untuk adik-adik atau saudara mereka yaang masih belajar di level SMA. Mereka akan cerdas bersyukur, bukan dengan berhura-hura dan terkesan tidak etis dan sebagainya.
Namun itulah faktanya, apa yang terjadi di hari ini membuktikan bahwa dunia pendidikan kita di Indonesia mungkin hanya bisa mengubah domain atau ranah kognitif anak, dari tidak tahu, menjadi tahu. Sekolah-sekolah kita, mungkin hanya bisa dan berhasil mengubah para siswa di ranah psikomotoris, ya mengubah kemampuan para siswa dari tidak bisa menjadi bisa melakukan sesuatu.
Namun masih gagal mengubah perilaku peserta didik, dari perilaku buruk menjadi perilaku baik. Apa yang diperlihatkan oleh para mantan siswa tersebut, sesungguhnya bukanlah cara-cara yang baik, bukan cara-cara yang edukatif dan bukan perilaku orang-orang terdidik.
Melihat kasus ini, tentu banyak pihak yang menyalahkan sekolah. Banyak pihak yang menyalahkan guru karena tidak mengarahkan mereka ke arah yang lebih baik. Tentu sah-sah saja kita menyalahkan sekolah dan menyalahkan guru, karena sekolah dan guru adalah pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap perilaku atau akhlak para siswa yang baru menjadi mantan tersebut.
Banyak pula pihak yang malah bertanya, dimana orang tua mereka? mengapa orang tua mereka tidak peduli atau ciwek saja melihat perilaku buruk yang dipertontonkan oleh anak-anak mereka? Mengapa orang tua mereka sendiri tidak mengarahkan anak-anak mereka. Padahal, orang tua adalah pihak pertama yang harus memperbaiki akhlak anak-anak meeka., bukan guru.