Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Lembaga Pendidikan

Diperbarui: 30 November 2017   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Oleh Tabrani Yunis

Selama ini, seiring dengan semakin maju dan canggihnya perkembangan teknologi komunikasi dan infomasi sepertihalnya smartphone atau gawai di dalam kehidupan kita, segala informasi yang dahulunya sulit kita dapatkan, sekarang semuanya terbuka. Bahkan bukan saja berita atau informasi yang benar yang kita terima, tetapi tidak sedikit berita bohong atau hoax yang berseliweran di gawai dan smartphone yang ada di tangan kita. Dengan berlimpah ruahnya informasi yang masuk ke HP kita, maka selayaknya kita semakin cerdas dalam menerima segala informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar maupun video atau Youtube. Bila tidak, maka kita akan celaka.

Di tengah derasnya arus informasi dan postingan yang benar dan hoax tersebut, ada banyak informasi yang kita terima mengenai tindak kekerasan terhadap anak di sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan kita di tanah air, maupun di Negara-negara lain.  Beberapa hari lalu, ada dua postingan dari sebuah grup di whatsapp yang membuat hati sangat miris dan terbakar. Kedua postingan itu adalah terkait dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, di rumah, atau di lembaga pendidikan formal. 

Ada dua video yang secara hati nurani akan membuat darah kita menggelegar ketika menyaksikan aksi seorang guru yang menghukum seorang anak, atau murid di depan kelas. Betapa tidak, bagaimana kita bisa tega melihat seorang murid atau siswa yang dipukul secara membabi buta oleh guru, tanpa ampun di depan kelas. Apalagi ketika terjadi pemukulan atau tindak kekerasan seperti itu para murid lain tidak bisa membela, maka anak yang mendapat hukuman kekerasan tersebut akan sangat kesakitan dan merasa sangat tersiksa. Ini adalah perlakukan atau tindakan kejam yang harus dihindari atau tidak boleh dilakukan oleh pendidik di kelas atau di sekolah

Dalam banyak video yang sempat diunggah dan masuk ke gawai kita,  banyak juga kasus kekerasan terhadap anak di saat anak belajar mengaji misalnya, mendapat perlakukan yang kejam dari orang tua atau yang mengajar mengaji. Ketika anak tidak bisa membaca, lalu pukulan demi pukulan atau tamparan, bahkan rotan berkali-kali dipukul ke tubuh anak, hingga menjerit-jerit menangis dan menahan rasa sakit. Celakanya, sang guru dan mungkin juga orang tua tega melihat anaknya merintih kesakitan. Alasannya, agar selalu patuh dan bisa mengaji. Padahal, anak yang mendapat perlakuan kasar saat belajar tersebut tidak akan bisa belajar sebagaimana halnya anakanak lain yang belajar dengan normal, tanpa tekanan dan pukulan seperti itu.

Selain kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh guru di sekolah dan oleh orang tua, maupun guru mengaji di rumah, kita juga sering menyaksikan kasus-kasus kekerasan terhadap anak di sekolah yang pelakuknya adalah anak-anak atau senior di sekolah-sekolah tertentu. Kasus-kasus ini kita kenal  dengan sebuat bully. Ya, ada banyak siswa yang memposisikan dirinya sebagai senior, lalu membully adik-adik atau junior do sekolah dengan berbagai aksi kekerasan yang juga tergolong fatal, karena hingga kehilangan nyawa dan sebagainya.

Sudah terlalu banyak kasus kekerasan yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal yang pelakunya adalah guru, kepala sekolah dan bahkan siswa sendiri melakukannya terhadap junior atau antara anak laki-laki terhadap anak perempuan. Banyaknya kasus kekeraan terhadap anak yang bereda di lembaga-lembaga pendidikan tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi kita. 

Mengapa kasus-kasus kekerasan itu terus terjadi, sementara undang-undang perlindungan Anak sudah diberlakukan? Apakah undang-undang tersebut tidak terlalu membuat guru, atau kepala sekolah di sekolah takut akan ancaman UUPA tersebut? Atau mungkin ada yang merasa bahwa ada pengecualian atau yang membolehkan guru, kepala sekolah maupun senior yang membolehkan mereka melakukan tindak kekerasan tersebut? Rasanya banyak sekali pertanyaan yang keluar dari pikiran dan mulut kita. Lalu, mengapa tindakan-tindakan kekerasan terhadap anak di lembaga-lembaga pendidikan itu cenderung berulang?  Apakah mereka  tidak takut akan ancaman yang ada? Apakah setiap hukuman yang diberikan  kepada anak tersebut harus hukuman fisik yang mematikan itu? Lalu, bagaimana pula tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak atau siswa terhadap anak atau siswa di sekolah? Selayaknya akar masalah dari semua tindakan kekerasan terhadap anak --anak di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya itu dicari atau diidentfikasi. Ini perlu agar bisa mencari solusi atau untuk membuat tindakan seperti ini tidak terus berulang dan berulang.

Tentu, latar belakang atau  factor penyebab dari semua kasus tersebut, tidak selamanya sama. Artinya  apa yang menjadi factor penyebab dan latar belakang kasus akan bisa berbeda-beda. Namun demikian, mungkin ada yang bisa saja sama. Masing-masing institusi akan memiliki latar belakang dan penyebab yang berbeda.

 Namun, bila kita lihat penyebab yang ada pada guru, salah satunya, banyak orang yang perilakunya yang sudah kesetanan. Artinya, banyak orang yang sudah seperti kerasukan setan dan tidak mampu lagi mengontrol emosi. Penyebabnya bisa saja karena ada beban psikologis guru yang mungkin terbawa dari persoalan dari rumah, hingga sangat sensitive dengan sikap anak-anak di sekolah. Kedua, kondisi anak-anak kita selama ini juga semakin terbuka dan berani merespon atau menangkal apa yang dikatakan guru, sehingga menambah emosi guru terus menguap dan akhirnya terjadilah tindakan-tindakan yang tidak diinginkan itu. Apalagi kalau sang guru yang menghukum siswa semakin kesetanan, tentu semakin sulit menghentikan tindak kekerasan yang sedang ia lakukan. Factor, kondisi kehidupan masyarakat kita yang semakin apatis dan cuwek, radikal dan kasar selama ini juga semakin mewarnai pola hidup kita.

Faktor lain bisa jadi karena undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) tersebut belum tersosialisasi ke sekolah-sekolah dengan cukup, sehingga banyak orang yang belum membaca dan memahami UUPA tersebut. Banyak orang yang tidak begitu tahu atau faham dengan undang-undang ini. Sehingga, membuat orang lupa akan ancaman yang dialamatkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak, baik di sekolah maupun di luar sekolah, seperti di rumah atau di lembaga nonformal lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline