Oleh Tabrani Yunis
Tulisan ini ditulis terinspirasi dari sebuah status seorang pegiat dan pejuang literasi di tanah air, Satria Dharma, Pembina Ikatan Guru Indonesia Pusat. Beliau yang selama ini dikenal sangat giat bergelut membangun gerakan literasi di tanah air ini sering membuat status di facebooknya dengan uangkapan-ungkapan yang menggelitik. Nah, dalam sebuah satusnya baru-baru ini, ia bertanya, Mengapa pelatihan guru yang diadakan pemerintah selama ini hampir selalu gagal?
Pertanyaan Pak Satria Dharma itu banyak mendapat tanggapan yang beragam dengan berbagai macam komentar, termasuk penulis sendiri. Namun, mengingat itu adalah status facebook, agar sulit kita mengambil kesimpulan dari tanggapan itu, sebab ada yang menjawab dengan cara-cara bergurau, ada yang serius menanggapinya.
Sehingga kita pun sulit menyimpulkan alasan mengapa pelatihan guru yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini gagal. Apalagi, sangat banyak orang yang memberikan tanggapan terhadap pertanyaan beliau itu. Oleh sebab itu, ada baiknya hal itu ditulis dalam bentuk artikel semacam ini, yang mungkin bisa memberikan manfaat.
Sekali lagi, terinspirasi dari status di facebook itu, penulis terdorong untuk mencoba menuangkan dalam tulisan ini. Tentu saja, ketika membaca status tersebut, tidak dengan serta merta harus harus dibenarkan. Kita harus kembali bertanya, apakah benar pelatihan guru itu dikatakan gagal? Apakah kegagalan itu mereupakan kegagalan pemerintah? Kalau memang gagal, mengapa bisa gagal? Itulah sejumlah pertanyaan yang bisa kita pertanyakan untuk merespon apa yang dipertanyakan oleh Pak Satria Dharma tersebut.
Oleh sebab itu, sebelum menjawab mengapa pelatihan itu hampir selalu gagal, kita harus pastikan dahulu apakah memang gagal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan survey atau sebut saja melakukan penelitian agar kita bisa membuktikan benar atau tidaknya. Barangkali, Pak Satria Dharma sendiri sudah melakukan survey atau riset mengenai hal tersebut.
Tanpa melakukan survey pun, bila kita amati dengan cermat tentang pelatihan atau penataran guru selama ini, yang banyak dilakukan oleh pemernitah, melalui Dinas Pendidikan di daerah, seperti yang juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh, hal itu terbukti benar. Apakah indicator yang bisa kita gunakan untuk mengukur kebenaran itu? Bisa jadi banyak indicator yang bisa kita gunakan. Misalnya, hampir semua pelatihan itu tidak diikuti oleh sebuah kegiatan tindak lanjut (follow up) untuk melihat apa yang akan direplikasi oleh guru setelah kegiatan pelatihan berlangung. Ya secara otomatis pula, tidak ada penilaian terhadap hasil pelatihan tersebut. Setelah pelatrihan selesai, ya selesailah sudah. Guru kembali ke sekolah, lalu melakukan rutinitas mengajar, tanpa membawa perubahan.
Bahkan bil kita mengacu pada hasil ujian kompetensi guru (UKG) secara nasional tahun 2015 masih rendah. Bayangkan saja, di tahun 2015 tersebut hampir 3 juta guru sudah menjalankan UKG. Hasil rata-rata UKG nasional adalah 53,02, sedangkan pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Bukan hanya itu, selain itu, rerata nilai profesional 54,77, sedangkan nilai rata-rata kompetensi pendagogik 48,94," ujarnya di Kemdikbud, sebagaimana dilansir oleh OKEZONE.com Rabu (30/12/2015).
Kala itu, Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan menuturkan, bahwa dari 2,9 juta peserta UKG, terdapat 3.805 orang yang mendapat nilai di atas 91. Dia berjanji akan menyampaikan hasil UKG secara lebih lengkap pada pertengahan Januari 2016. Kondisi buruk ini juga masih akan meburuk pada tahun-tahun berikutnya. Ini adalah sebagai pertanda atau alat ukur bahwa benar selama ini penataran guru yang dilaksanakan oelh pemerintah gagal, atau dalam kata lain tidak mampu meningkatkan kualitas guru secara signifikan.
Nah, dengan mencermati hasil UKG secara nasional yang masih belum membuat hati kita lega tersebut, ada baiknya kita juga bertanya mengapa hasil UKG guru masih belum mencapai angka ideal, masih sangat rendah? Apakah ada kaitannya dengan kegagalan pemerintah melatih para guru lewt berbaga penataran tersebut? Sebelum kita menjawab lebih jauh, maka selayaknya pula kita bertanya, kegagalan tersebut apakah kegagalan pada tataran pihak penyelenggara, atau di pihak guru yang mengikuti pelatihan guru. Sebab kegagalan tersebut, bisa jadi pada pola pelatihan yang disediakan dan juga kemungkinan pada guru sebagai peserta pelatihan yang gagal mengerti tentang apa yang mereka pelajari dari pelatihan guru tersebut.
Bila kita cermati dengan cermat dan teliti, kegagalan penataran tersebut memang ada pada kedua pihak, yakni pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan, dan pihak guru sendiri. Di pihak pemerintah ( Departemen Pendidikan), selama ini banyak sekali salah dalam melakukan kegiatan penataran guru di tanah air, termasuk di Aceh. Berdasarkan hasil amatan selama ini, ada banyak kesalahan yang dilakukan itu di antaranya adalah sebagai berikut.