Oleh Tabrani Yunis
Tulisan ini dimaksudkan hanya sekedar mengenang kisah masa lalu. Kisah pribadi ketika menjadi " tukang kritik" kala bertugas di SMA Negeri 3 Banda Aceh, selama beberapa tahun. Ya, mulai tahun 1994 dan dipindahkan pada November 2006 ke SMA Negeri 4 Banda Aceh. Sebuah kisah pemindahan yang mematikan semangat berkreasi dalam menjalankan peran sebagai guru yang entertainer. Seringkali, pejabat, seperti kepala Dinas dan pihak yang berwenang, lebih mempertahankan Kepala Sekolah yang jabatannya hanya 5 tahun itu, dibandingkan dengan guru yang mungkin menjadi idola bagi peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pembelajaran, maka tulisan ini dinukilkan.
Kritik, dalam masyarakat demokratis adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Bagi mamsyarakat yang menganut system demokratis ini menjadikan kritik sebagai bagian yang sangat penting dalam hidup bernegara. Kritik menjadi bahagian dari kehidupan yang memang harus ada dan dipellihara. Karena pada hakikatnya kritik adalah sebuah alat control yang terhadap seseorang, baik antara individu dengan individu dalam hubungan social, maupun dalam hubungan structural, antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya.
Maka, di alam demokratis tersebut kritik sering digunakan untuk mengawasi jalannya sebuah kepemimpinan yang demokratis. Bahkan, karena begitu pentingnya membangun budaya kritik tersebut, kalangan orang-orang democrat, memandang bahwa criticism is an expression of love(Kritik sebagai sebuah ungkapan cinta). Benarkah demikian?
Jawabannya tentu sangat tergantung dari siapa yang menjawabnya. Kalau bagi penganut aliran demokrasi, ungkapan ini tentu sangat relevan. Namun bagi mereka yang tidak demokratis, pasti ia akan mengatakan bahwa itu tidak benar. Bila pertanyaan ini kita tanyakan pada orang-orang yang demokratis, maka akan kita temukan makna kritik sebagaimana dimaksudkan pada awal tulisan ini.
Bila kita melihat kritik dari kacamata positif, maka kita bisa memaknai bahwa tatkala seseorang mengkritik orang lain seperti mengkritik atasan atau pejabat semisal guru yang mengritik kepala sekolah, sebenarnya justru karena yang mengkritik tersebut ingin menjaga agar kepala sekolah tidak terlanjur melakukan kesalahan atau penyelewengan. Kritik adalah sebuah teguran atau warning kepada seseorang yang mengontrol jalannya sebuah kekuasaan. Begitu banyak manfaat sebuah kritik bagi mereka yang memandang kritik secara konstruktif.
Menegasikan Kritik
Kendatipun kritik menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang demokratis karena dilihat secara positif. Banyak orang yang tidak suka dikritik. Banyak orang yang dikritik kebakaran jenggot. Banyak orang yang menegasikan kritik. Artinya setiap orang melempar kritik, maka kritik itu dianggap sebagai sebuah aksi mendongkel sebuah kedudukan. Kritik dianggap distruktif, walaupun sebenar isi kritik tersebut penuh dengan kebenaran. Perlawanan atau penolakan terhadap kritik biasanya terjadi antara atasan, atau antara anak dengan orang tua dan juga antara anak didik dengan guru ( dalam konteks structural).
Bahkan di kalangan pejabat yang merasa sangat mapan dengan kursi kekuasaannya, sang pejabat sangat alergi dengan kritik. Kalaupun sang pejabat mengatakan kritiklah aku, agar aku bisa mengontrol diri, ungkapan ini banyak menjadi bentuk kemunafikan seorang pemimpin. Para pemimpin yang alergi terhadap kritik, ia akan selalu menganggap kritik sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan posisinya sebagai pejabat. Banyak pemimpin yang hipokrit alias munafik (biasaanya tidak sesuai antara kata dan perbuatan, berpenampilan islami, tetapi berhati yahudi), berpura-pura suka terhadap kritik, lalu dengan licik berupaya membungkam orang-orang yang kritis tersebut.
Karena orang-orang yang suka mengritisi atau mengkritik tersebut sering diposisikan sebagai lawan. Seorang yang suka mengkritik atasan, seperti halnya guru mengritik kepala sekolah, maka sang guru akan diberikan label, "Tukang Kritik", Pengacau dan yang lainnya yang bernuansa negative. Nah, tatkala kritik tersebut dipandang demikian, maka dalam dunia kerja, baik di perusahaan, di organisasi dan di pemerintahan, orang-orang kritis yang sering kita kenal dengan istilah " Kritikus" tersebut selalu saja dibungkam oleh sang penguasa.
Sudah banyak tokoh kritis di negara kita yang dibungkam dengan berbagai cara di zaman Orde baru. Pembungkaman tersebut karena kritik-kritik yang disampaikan oleh para kritikus dianggap membahayakan kelanggengan sebuah kekuasaan. Paling tidak, kita pernah mendengar nama-nama seperti Sri Bintang Pamungkas yang kemudian dilemparkan ke penjara karena kritiknya dinayatakan subversive. Kita juga pernah mendengar nama Arif Budiman yang kritis dan terpaksa hijrah ke Australia. Banyak orang-orang kritis di Indonesia yang dibungkam dengan berbagai cara, baik melalui produk hukum, maupun berbagai aksi yang bahkan dilakukan dengan tindak kekerasan misalnya penyiksaan dan pembunuhan.