Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Jakarta Macet, Uber Saja

Diperbarui: 4 November 2017   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Oleh Tabrani Yunis

Malam itu, tanggal 18 Oktober 2017, merupakan malam penutupan acara "The 6th Action Asia Peace Builders' Forum yang diselenggarakan atas kerja sama AMAN Indonesia dengan Action Asia di hotel Le Meredien, Jalan Sudirman, Jakarta. Pada acara penutupan itu, aku diminta menyampaikan sepatah kata, untuk mengawali acara pembukaan itu. Dengan penuh percaya diri saja, aku maju ke pentas untuk menyampaikan sesuatu. Aku pun memulainya,

"Good evening all. Thank you so much for giving me an opportunity to talk for several minutes. I am really honored for the space given. It is still not late to say welcome, even at the end of our meeting or at the farewell party, ha ha. I believe that you enjoy Jakarta. Even you can not go out of the hotel. I like Jakarta. I love Jakarta, because it is the capital city of Indonesia. But, do you know that I do not like to come and stay in Jakarta. I hate the terrible traffic jam. The people in Jakarta are very patient and they are able to stay on the way or street for a long time. They are very patient driving the car even until hours on the street. I really appreciate and admire their patience"

Itulah sebagian ungkapan yang aku sampaikan kepada para peserta yang berasal sejumlah negera itu. Ya, ada  lebih dari 20 negara di Asia, Australia hingga Inggris dan Amerika itu.  Mereka pada tertawa. Apa lagi gayaku menyampaikannya dengan penuh canda. Ya,  walau sambil tertawa, aku ingin jujur saja mengatakan begitu, karena setiap kali mereka mau keluar dari hotel mencari pusat perbelanjaan, lalu ke luar ke gerbang hotel untuk naik Taxi atau memanggil UBER, lalu melihat kenderaan di jalan merangkak tak bergerak, mereka akhirnya lebih memilih tidak ke pusat perbelanjaan atau mall. Mereka banyak yang takut kelelahan duduk di kenderaan. 

Beberapa teman dari The Philippines, langs berkata, oh no. It is really bad. It is better for us to go to city walk, ujar mereka. Nah, apa yang mereka rasakan, sebenarnya sama seperti apa yang aku rasakan. Bagiku, Jakarta itu menjadi harapan banyak orang, menjadi destinasi banyak orang dari daerah, seperti aku yang datang dari kota kecil di Banda Aceh. Dulu, ketika aku belum pernah ke Jakarta, atau baru sekali dua kali, atau tiga kali ke Jakarta, aku masih enjoy dengan Jakarta. 

Walau kemacetan juga masih sulit diurai. Terbukti, pada tanggal 19 Oktober 2017, peserta acara kembali ke daerah dan Negara masing-masing. Aku dan beberapa teman, masing-masing dari India, Nepal, Sri Lanka dan aku dari Aceh naik angkutan yang sudah dipesan online oleh panitia. Tak dapat dielakkan, ketia keluar dari gerbang hotel, van yang kami tumpangi sudah mulai terjebak macet. Macet bukan saja karena padatnya jumlah mobil yang merangkak pelan, tetapi juga kepadatan kenderaan roda dua yang menghijaukan jalan raya itu. Aku merasa khawatir kalau nanti terlambat tiba di Bandara. Masalahnya, aku sangat tidak suka bermasalah. Tapi syukurlah, kami bisa sampai ke Bandara, satu jam sebelum keberangkatan pesawat.

Kemacetan di jalan-jalan di kota Jakarta adalah hal yang membuat aku selalu muak, bosa dan malas untuk ke Jakarta. Makanya, akhir-akhir ini, setiap ada undangan mengikuti acara, yang tempat penyelenggaraannya di Jakarta, aku sudah mulai uring-uringan, malas untuk ke Jakarta. Berangkat nggak ya? Walau, kadangkala  aku merasa rindu juga dengan Jakarta. 

Tetapi begitulah. Bagiku dan mungkin juga kebanyakan orang, indahnya atau enaknya ke Jakarta itu adalah ketika berada di mall-mall besar atau di pusat-pusat perbelanjaan yang nyaman, dingin dan kaya dengan produk-produk konsumtif itu. Jakarta menawarkan banyak tempat untuk hiburan yang serba wah itu. Tergantung kemampuan kocek, isi dompet atau kartu ATM maupun kartu kredit. Semakin banyak uang, semakin banyak yang bisa dinikmati. Kecuali keadaan di jalan raya. Itu hampir tidak dapat dibantahkan.

Ya, bagiku hal yang paling aku tidak suka kalau ke Jakarta adalah berhadapan dengan kemacetan di jalan raya itu. Perjalananku dari Banda Aceh ke Jakarta dengan pesawat memakan waktu hanya dua jam, tiga puluh menit. Sementara dari bandara Soekarno-Hatta, ke tempat acara bisa lebih dari waktu itu. Melelahkan sekali bukan? Ya, tentu saja melelahkan dan membosankan ketika berada di tengah-tengah kemacetan itu. Untunglah belakangan ini, ketika kita lagi bosan bisa memainkan gadget sambil membunuh rasa bosan duduk di angkutan umum.

Kemacetan kota Jakarta, memang semakin sulit diurai. Ya, kata orang seperti semakin tidak adaa jalan keluar. Hingga kini belum ada satu Gubernur pun yang mampu menahan laju pertumbuhan kenderaan, baik roda dua, maupun roda empat. Persoalaannya, karena orang-orang yang hidup di Jakarta tidak enak hidup kalau tidak punya mobil. Tidak enak hidup, kalau ke kantor tidak menggunakan mobil. Padahal, mengguankan mobil di Jakarta itu, jauh lebih susah dibandingkan naik angkutan umum atau kenderaan sewaan. Walaupun di zaman  sebelum Ahok, hingga kini Anies Baswedan,  sudah berupaya dengan menyediakan banyak angkutan umum dan massal, seperti TransJakarta, Damri dan lain-lain. Macet masih menjadi langganan tetap di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline