Oleh Tabrani Yunis
Ah, Kompasiana. Ke mana-mana asyik membicarakan Kompasiana saja, abang ini. Duduk di warung kopi, bukannya menikmati kopi, tetapi malah membicarakan soal Kompasiana. Yang inilah, yang itulah, pokoknya, kalau tidak membiacarakan soal Kompasiana, sepertinya tidak enak makan. Ya, tidak enak badan. Sudahlah bang, kita bicarakan saja soal lain ya. Bukan membicarakan Kompasiana melulu. Begitu ujar seorang teman dengan nada meledekku, ketika tadi malam duduk minum kopi Arabika Gayo, di Gerobak Arrabica coffee yang letaknya tidak jauh dari kantor majalah POTRET dan POTRET gallery. Ujaran itu, disambut oleh teman lain yang sebaliknya lebih apresiatif, lebih menghargai, yak arena ternyata dia juga suka menulis. Ia malah menambahkan lagi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatiku menjadi lebih puas. Ia juga tahu bahwa Kompasiana baru saja berulang tahun yang ke sembilan. Ya, sudah itu memang selalu ada hal seperti itu.
Aku tidak merasa kecil hati, ketika teman yang pertama mengajakku untuk tidak berbicara soal Kompasiana. Juga merasa aku diledek dan direndahkan, karena bagiku memiliki akun dan sering menulis di Kompasiana itu, ya sebuah proses pendewasaan dalam hal menulis, menuangkan ide, bermain dan merangkai kata yang sekaligus memuaskan batin lewat menulis. Bagiku, menulis itu, dimana saja, apakah di media cetak, seperti surat kabar, majalah atau blog dan website dan lain-lain itu untuk aktualisasi diri. Karena ketika tulisanku banyak dibaca orang, banyak dikomentari atau dikritik orang, hatiku terasa puas, Apalagi kalau ada hal-hal yang membuat aku kesal atau jengkel, misalnya kesal terhadap model pembangunan yang tambal sulam, jengkel atau kesal terhadap orang-orang yang membuang sampah sembarangan dan bahkan terhadap pengemudi mobil yang menggendong anak dan lain-lain. Ya, tulis saja. Pasti ada manfaatnya. Apalagi kalau menulis untuk tujuan baik-baik, malah berpahala, bukan?
Setahuku dan bahkan apa yang aku rasa dan alami, menulis itu telah banyak membantuku untuk keluar dari keadaan buruk. Misalnya, seperti apa yang aku tulis di dalam tulisanku " Aku melawan trauma dengan menulis" dan tulisan-tulisan lain yang tak mungkin aku sebutkan satu per satu di sini. Yang jelas, menulis itu sangat banyak manfaat yang aku dapatkan. Karena aku sudah merasakan banyak manfaat, maka agar ilmu, ketrampilan dan pengalaman baik (best practices), maka selama ini aku pun secara aktif terus memotivasi banyak orang, mulai dari anak-anak, remaja dan bahkan orang tua, untuk mau menulis. Malahan, bukan hanya sekedar memotivasi, mengajak dan membimbing orang menulis, aku bahkan menyediakan media untuk berkarya, baik untuk remaja dan dewasa, maupun untuk anak-anak. Buktinya aku menerbitkan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas hingga sekarang.
Memang banyak orang yang berkata, " Kamu ini aneh Bung Tabrani Yunis". Kamu punya media sendiri, tetapi yang banyak kamu kampanyekan malah Kompasiana. Kamu share tulisan kamu yang ada di Kompasiana kepada teman-teman lewat media social, seperti facebook, twitter, linkedin dan bahkan juga whatsapp dan telegram. Ya, kalau dipikir-pikir memang aneh ya?
Memang aneh. Dikatakan aneh, karena sebenarnya aku sendiri punya media sendiri seperti yang aku sebutkan di atas, majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas. Idealnya, aku harus focus menulis, membesarkan media tersebut, bukan malah ke media lain. Mungkin begitu pendapat orang, tetapi aku sendiri sebenarnya punya alasan pribadi dan pertimbangan sendiri. Bagiku, seperti yang aku utarakan di atas adalah untuk aktualisasi diri, untuk bisa saling berbagi. Apalagi menulis di Kompasiana.com banyak yang membaca dan bahkan banyak yang menulis. Lalu, mengapa aku banyak menulis di Kompasiana dibandingkan di POTRET Padahal, secara finansial, menulis di Kompasiana tidak sama seperti menulis di Harian Kompas. Namun, mengapa memilih Kompasiana dan bahkan aku semakin kasmaran terhadap Kompasiana.
Jadi bisa dibayangkanlah ya, bagimana seseorang yang sedang kasmaran. Seseorang yang sedang jatuh cinta pada orang atau sesuatu yang didambakannya. Pasti, ketika seseorang sudah kasmaran, segalanya akan menjadi indah. Kita sering dengan apa kata orang dengan istilah, " Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing pun jadi coklat". Ha ha ha, ya begitulah kondisi orang yang jatuh cinta itu. Begitu pula kasmarannya aku dengan Kompasiana. Aku walau sudah lumayan lama menjadi warga rumah Kompasiana, menjadi Kompasianers yang bermula di tahun 2008 dan baru merasa tertarik pada tahun 2010 dimana dengan resmi aku mendaftar menjadi warga rumah Kompasiana pada tanggal 26 April 2010. Aku terus menjajagi dan tampilan dan seluruh badannya, hingga aku mulai merasa suka. Lam juga aku mengamati dan mencoba memupuk rasa cinta. Pernah sekian lama aku tidak peduli dan tidak menghampirinya. Namun, kemudian hatiku kembali tertambat dan benar-benar kasmaran. Setiap hari rasa rindu, selalu ingin dekat, Kompasiana selalu ada di ujung jari. Sebentar-bentar teringat, sebentar-bentar membicarakannya. Ya begitula kalau kasmaran.
Nah, percaya atau tidak Kompasiana itu memiliki daya tarik sendiri. Bukan hanya daya tarik atau pesona, tetapi juga memiliki daya dorong dan magnet yang sangat kuat dalam membangun sikap fanatisme, sikap loyal warga Kompasiana yang jumlahnya kini sudah mencapai angka 250.000 orang itu. Apalagi ketika masuk ke usia 9 tahun ini, Kompasiana semakin banyak innovasi dan tampak sangat progresif. Bayangkan saja, tanpa mendapat bayaran saja sudah 250.000 anggota bergabung menjadi warga Kompasiana, konon lagi kalau Kompasiana menyediakan honor bagi setiap penulisnya yang masuk kategori atau kriteria yang ditetapkan. Pasti akan semakin banyak orang yang mau migrasi ke Kompasiana.com ini.
Tampaknya, di usia yang ke sembilan ini, Kompasiana memang melakukan banyak hal yang lebih progresif dan semakin partisipatif. Ada banyak perunahan yang menbuat kita semakinbetah tinggal di rumah Kompasiana ini. Misalnya, system pangkat dan poin. Sistem ini menjadi katalisator bagi mesin atau penggerak sikap loyalitas dan sikap fanatisme seseorang terhadap Kompasiana.com, termasuk diriku. Aku terus terang merasa semakin terdorong untuk memiliki poin yang banyak. Begitu pula dengan pangkat yang diberikan. Semua ini menjadi pembangkit semangat bagi kita, terutama genarasi muda. Selain system poin dan pangkat, semakin banyaknya kesempatan untuk ikut menulis dalam blog competition yang selama ini selalu ada. Bahkan banyak yang semakin kasmaran, termasuk diriku, dengan adanya kesempatan memperoleh penghasilan lewat menulis pada bagian-bagian tertentu seperti Content affiliation yang diberikan kepada orang-orang yang sudah mendapat conteng hijau dan biru. Walau sebenarnya, penghasilan itu belum menjadi kenyataan, karena alasan-lasan belum masuk dalam pencapaian yang dibuat. Jadi wajar saja, bila aku semakin kasmaran terhadap keberadaan Kompasiana ini.
Nah, pada usia 9 tahun, ini, pasti setiap warga Kompasiana.com, memiliki harapan yang besar terhadap Kompasiana.com ini. Aku juga sebenarnya berharap bisa ikut berkumpul dengan warga Kompasiana lain yang kala itu ada di acara 9 tahun di mall itu, tetapi belum sanggup untuk menghadirinya. Ya, sudah. Tidak masalah. Aku pun bisa melihat Bu Sri Mulyani lewat live di Instagram.
Ya, terlalu banyak untuk diceritakan. Namanya saja sudah kasmaran. Pendek kata, ada sejuta tangan yang akan mengukir keberhasilan dalam berbagai bidang yang ada di Kompasiana.com. Oleh sebab itu, harapan besar kepada Kompasina, teruslah berbenah, dekatlah dengan semua warga dan manjakan warga Kompasiana dengan segala bentuk sikap dan perilaku yang kreatif, kritis, innovative dan selalu produktif dalam melahirkan karya-karya yang berguna atawa bermanfaat. Aku yakin sekali Kompasiana bisa dan mampu.