Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Aku yang Melawan Trauma dengan Menulis

Diperbarui: 24 Oktober 2017   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Dulu, ketika internet dan media sosial atawa medsos belum berkembang seperti sekarang ini, kita menggunakan majalah, surat kabar atau buku-buku, sebagai sumber bacaan. Tentu saja sifat komunikasi yang terbangun adalah satu arah, tidak interaktif seperti  media sosial yang kita gunakan sekarang lewat Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. 

Namun demikian, walau membutuhkan waktu yang relatif lama, kita tetap mencoba berkomunikasi dua arah dengan cara mengirimkan surat pembaca untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang kita baca. Bila ingin interaksi secara langsung, maka pilihannya adalah menggunakan media audio dan audio visual, seperti radio dan televisi. Begitulah perkembangan media komunikasi kita saat itu.

Nah, sebagai orang yang gemar membaca saat itu, aku suka sekali membaca majalah-majalah yang mengangkat kisah-kisah inspiratif, kisah kehidupan manusia atau orang-orang yang dalam hidupnya berjuang melawan sesuatu untuk bisa bertahan hidup ( survival). Salah satu kisah yang sering aku baca di majalah Kartini, misalnya adalah kisah orang-orang yang berjuang melawan penyakit tertentu, yang mereka kemas di dalam rubrik, "Oh Papa, Oh Mama".  Rubrik publik untuk mengekspresikan penderitaan atau masalah hidup yang sedang dihadapi dan sebagainya.

Ya, berbagai kisah sedih tentang seseorang yang mengidap penyakit dan sulit disembuhkan. Misalnya ada yang berjuang hidup melawan penyakit ganas seperti tumor, kanker dan sebagainya. Ada pula kasus orang-orang yang mengalami stres sekian lama dan bahkan menjadi gila. Berbagai macam jalan atau cara yang ditempuh untuk mengobati penyakit tersebut. 

Ada yang berobat ke dokter, bahkan ke dukun-dukun serta bagi mereka yang stres dan trauma mencari jalan terapi kepada para psikolog dan psikiater dan lainnya. Biaya pun dikeluarkan begitu besar, yang penting bisa segera pulih. Ya bisa sembuh dan kembali seperti semula. Apalagi bagi kebanyakan masyarakat menyakini apa yang dikatakan dengan "segala penyakit ada obatnya, kecuali mati". 

Namun, tidak sedikit yang putus asa, karena penyakit yang diderita tak kunjung sembuh atau pulih. Begitulah kisah sedih yang kita bisa baca di majalah-majalah, termasuk majalah Kartini dan lainnya saat itu yang sangat berkesan hingga saat ini.

Mengenang bacaan-bacaan kisah-kisah inspiratif dan elegi orang -- orang yang bernasib malang itu, mendorong aku untuk menulis tantang pengalaman pribadiku, ketika aku pernah mengalami trauma yang panjang. Trauma akibat dari sebuah peristiwa bencana alam yang sangat dahsyat yang pernah menghantam hidupku dan keluargaku pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. 

Bencana gempa bumi 8.9 SR da nada juga menyebutnya 9.1 SR yang diikuti gelombang tsunami menghantam dan memporak-porandakan sebagian besar daerah pesisir pantai barat dan timur Aceh kala itu. Tsunami yang bisa dikatakan sebagai sebuah gelombang revolusi yang sangat dahsyat itu yang menyebabkan lebih dari 200.000 korban meninggal dan hilang, serta kehancuran insfrastruktur dan lainnya, termasuk isteri, anak, dan harta-hartaku. Bencana itu membuat aku mengalami trauma yang bisa dikatakan lumayan berat. Sebab, setiap kali hari Sabtu dan Minggu datang, aku sering menangis dan bahkan hatiku bagai berteriak-teriak, ingin bertemu anak dan istriku yang tak pernah bertemu lagi sejak hari bencana itu.

Bencana itu telah membuat hidupku terombang ambing. Merasa hidup seperti kehilangan kepastian. Setiap hari ditemani rasa sedih dan kehilangan. Aku malah tidak sanggup mendengar suara anak-anak menangis. Sangat benci melihat kalau ada orang tua yang memarahi anaknya. Bahkan suatu hari di bulan Februari 2005, kala aku mendapat kesempatan belajar tentang child help line di India, saat itu pernah beberapa kali tidak mampu melihat anak-anak yang berada di pengungsian dan yang mengalami sakit di rumah sakit di India. 

Ketika aku melihat anak-anak yang menderita, aku langsung down. Sedih dan menangis. Hati terasa meronta-ronta. Walau sebenarnya aku sering berucap "Anakku, isteriku, hartaku, bahkan diriku, bukanlah milikku. Semua milik Allah dan kembali kepada Allah". Namun, sebagai manusia, aku tetap selalu bersedih, kala itu.

Benci Pada Laut

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline