Oleh Tabrani Yunis
Lain lubuk, lain ikannya. Lain Padang, lain pula belalangnya. Begitulah kata pepatah lama yang pernah diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, ketika masih duduk di bangku sekolah. Pepatah yang mengingkat kita bahwa sesungguhnya lain tempat, akan lain pula orang dan perilakuknya, lain pula bahasa dan budayanya, lain pula agama dan kepercayaannya dan sebagainya. Jadi, masing-masing tempat, masing-masing akan saling berbeda dalam berbagai hal, termasuk Bahasa dan maknanya.
Indonesia saja, contohnya. Negara yang kaya dengan suku bangsa, Bahasa dan adat istiadat, serta perbedaan agama dan kepercayaan, membuktikan bahwa pepatah di atas itu sangat relevan bagi kita. Ya, Indonesia yang multi cultures, multi religions, multi languages, multi races, namun bersatu dalam satu bangsa, Negara dan Bahasa. Begitu pula dalam hal keragaman bahasa, masyarakat Indonesia juga memiliki ratusan Bahasa yang berbeda. Perbedaan itu, bisa secara minor, maupun secara mayor. Bukan saja perbedaan, tetapi juga terkadang banyak kesamaan. Perbedaan dan kesamaan itu, sering membuat kita tertawa, karena terkesan lucu dan bahkan ada yang bila disandingkan dengan Bahasa kita, ada hal-hal yang terkesan porno, tidak senonoh, atau malah tidak tepat dan malah lucu yang membuat kita tertawa terkekeh-kekeh.
Penulis teringat dengan kekagetan suatu ketika di tahun 2005, di bulan Februari. Pada saat itu, sebenarnya penulis masih dalam keadaan kalut dan tidak stabil, karena mengalami musibah bencana tsunami. Tiba-tiba, dalam kekalutan itu, penulis mendapat kesempatan dan tawaran untuk terbang ke India. Ke India dalam rangka berkunjung dan belajar tentang child help line, sebuah metodologi penangan kasus-kasus kekerasan terhadap anak di India. Tawaran itu diberikan oleh sebuah organisasi Internasional yang concern pada isu anak, yakn Plan International. Penulis bersama sejumlah sahabat yang bekerja untuk isu anak-anak, dibawa oleh Plan Internaional yang berkantor di Jakarta.
Organisasi social di India bagian selatan itu sudah lama memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Oleh sebab itu, kami mendapat kesempatan untuk mempelajari tentang cara-cara penagangan kasus yang menimpa anak- anak di India. Pada waktu yang bersamaan ada wilayah dekat pantai di Nagatipatinem yang dihantam dahsyatnya gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 itu.
Kesempatan ini, sangatlah berguna dan berharga, karena ketika penulis saat itu masih diselimuti trauma tsunami. Apalagi keguncangan jiwa masih sangat berat, karena kehilangan anak dan isteri serta harta benda Alhamdulilah, penulis bersyukur mendapatkan kesempatan untuk bisa berangkat ke India. Kesempatan itu penulis niatkan pula untuk bisa mencari orang-orang kesayangan, yang dicintai yang hilang dalam bencana tsunami saat itu. Siapa tahu, atas kekuasaan Allah, salah satu dari mereka ada yang terdampar di sana. Maka, ketika penulis ditelpon oleh pihak Plan Internaional pada saat itu, aku langsung memberikan jawaban yang menyatakan bersedia, walau pada saat itu, penulis sudah tidak memiliki passport lagi. ya sudah hanyut dibawa tsunami. Namun, disanggupi dan penulis mengurus passport baru di Lhok Seumawe, Aceh. Alhamdulilah prosesnya cepat dan kembali memiliki passport yang memudahkan langkah bisa berjalan ke luar negeri.
Perjalanan ke India, dilalui lewat Jakarta, setelah bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat bersama, mendapatkan pembekalan, kami berangkat lewat Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng, lalu transit di KL dan melanjutkan perjalanan ke India. Kota tujuan kami adalah Chennai, Madras, India. Perjalanan dari KL ke Chennai, mungkin sekitar 3 jam ya. Jadi lupa, karena sudah lama. Ini adalah perjalanan pertama penulis ke luar negeri pasca bencana tsunami. Walau sebelumnya di bulan Juni 2003, pernah mendapat kesempatan mengikuti acara konferensi Internasional di Melbourne Uni, di Melbourne Australia. Perjalanan ke India kali ini, juga menjadi perjalanan pertama ke negeri Indira Gandhi ini
Perjalanan saat itu menjadi sangat menarik, teman-teman yang berangkat bersama bukan hanya dari satu daerah, tetapi mulai dari Surabaya, Jakarta, Medan dan Aceh. Keberagaman teman dan juga latar belakang, karena ada 3 polisi, dan praktisi LSM yang bekerja untuk isu anak itu, membuat penulis mendapat kawan baru. Mereka sanga peduli dan mengerti dengan kondisi penulis yang sedang galau dan drop saat itu. Jadi, sangat banyak hal menarik, unik dan mengesankan dari perjalanan ke Chennai, Madras saat itu
Menikmati Kari India
Perjalanan ke India, tentu tidak sama seperti kita mengadakan perjalanan ke Swiss, Helsinki atau ke Benua Australia dan Amerika. Seperti dipaparkan di atas, lain lubuk, lain ikannya, lain padang, lain pula belelangnya. Bagi orang kita Indonesia, akan menemukan perbedaan pada sajian makanan India yang serba kari itu. Walau sebenarnya di Aceh juga banyak pengaruh budaya India dalam hal makanan kari. Namun kari di India terasa sangat pekat. Nah, mengenal, masakan India, penulis asih ingat dengan Idli, sambar dan beberapa lainnya. Usai makan nasi kari India, bau di tangan akan lama hilang. Sehingga seusai makan, bila menggunakan tangan, tidak pakai sendok, maka jangan segan-segan cuci tangan dengan sabun.