Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Berkunjung ke Kota "Zero" Sepeda Motor

Diperbarui: 10 Mei 2017   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

From KH Hotel in Yangon

Oleh Tabrani Yunis

Langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Ke empat hal itu ada di tangan Allah. Artinya semua itu ketentuan Allah. Kita sebagai manusia, hanya bisa berdoa dan berusaha. Alhamdulilah, terkadang dalam hidup ini, kita sering mendapatkan kesempatan yang mungkin saja di luar apa yang kita bisa lakukan. Begitu kaya dan pemurahnya Allah kepada kita. Seseorang yang membayangkan tidak mungkin melakukan sesuatu yang ia tidak mampu lakukan, namun bila Allah berkehendak, ia pasti bisa melampaui kekuatan itu. Misalnya lagi, sesorang yang merasa tidak mampu keliuar negeri dengan dana sendiri, tetapi bisa berkali-kali ke luar negeri. Apakah rahasianya? Jawabnya adalah memiliki ilmu, ketrampilan, dan latar belakang aktivitas yang bermanfaat bagi banyak orang.

Setiap orang bisa mendapatkan sesuatu yang sebenarnya dirasakan tidak mungkin dilakukan, namun bisa atau dapat dilakukan dengan mudah. Alhamdulilah, aku banyak mendapatkan rahmat Allah untuk memperoleh kesempatan itu. Lewat kebaikan hati banyak orang atau pihak, aku dianugerahi kesempatan berjalan gartis ke sejumlah Negara. Salah satunya adalah kesempatan pergi atau terbang ke Negara yang disebut dengan Burma atau Myanmar.

Alhamdulilah, pesawat Malaysia Airlines dengan nomor MH 0740 yang aku tumpangi mendekati Yangon International Airport. Cuaca di wilayah dekat bandara Yangon tampak sangat cerah.  Lewat kaca jendela sebelah kanan, mata terarah ke daratan sembari menoleh ke sana- ke mari, menikmati panorama alam di sekitar bandara. Menoleh ke kiri dan ke kanan,  mata pun  tertuju pada hamparan sawah  yang hijau dan danau yang memancarkan cahaya, karena siraman sinar matahari. Suasananya, serasa sedang di daerah pertanian. Semakin mendekati bandara, semakin tampak ruas jalan dan bangunan di kota Yangon itu.

Lalu, sekali-kali  terlihat percikan cahaya dari danau serta ruas jalan yang kelihatan lurus-lurus. Bukan hanya itu, gambaran keindahan itu juga terlihat pada lekukan sungai yang luas dan menjulur-julur seperti ular. Kesannya, sangat alami,  bukan seperti tatkala kita mau mendarat di bandara Changi, Singapore yang banyak bangunan itu. Maka, kesan pertama yang muncul terhadap negeri yang banyak bangunan pagoda ini adalah terkesan sekali sebagai kerajaan agraris. Apalagi setelah melangkahkan kaki mengelilingi ibu kota Myanmar, Yangon, kita akan merasakan dan menemukan keunikan yang ada di Negara ini.

Kesan itu semakin kental, ketika pesawat meluncur di landasan menuju garbarata yang menghubungan pesawat dengan pintu masuk ke bandara bagian dalam. Dari landasan pesawat, lewat jendala, mata pun tertuju lagi pada bangunan bandara. Kembali hati berkata, ah ternyata bandaranya tidak begitu besar. Bisa jadi, bandara Kualanamu, Sumetera Utara, atau bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) jauh lebih besar. Itu hanya kesan awal, karena belum melihat secara keseluruhan. Hanya saja kontruksi bangunan bandara terlihat sepeti kontruksi bandara Kualanamu atau seperti KLIA. Namun kelihatan agak kecil. Apalagi setelah turun ke tempat antrian imigrasi dan pengambilan bagasi, terbukti memang bandaranya tidak terlalu besar dan megah. Sekali lagi, mungkin itu hanya   kesan pertama ketika pertama kali datang ke negeri pagoda ini. Perasaan ini, tidak jauh berbeda dengan pengalaman ketika di tahun sebelumnya aku mendarat di bandara Siem reap, Kamboja. Sekali lagi, ini adalah kesan pertama. Namun, ini adalah sebuah catatan penting yang memang perlu ada.


 Hmm, pesawat sudah berhenti dengan sempurna. Para penumpang mulai meninggalkan pesawat dan masuk menuju bandara.  Ada kejadian aneh yang mengingatkan ku pada tradisi buruk di Aceh, yakni lampu padam. Sungguh mengagetkan, ketika penumpamg bergegas turun, masuk ke bangunan bandara untuk menuju bagian imigrasi, para penumpang dikagetkan oleh padamnya atau matinya listrik, saat pemeriksaan di bagian Imigrasi. Aku tak mengira kalau kebiasaan buruk PLN di Aceh itu ada di Yangon saat itu. Namun padamnya lampu di bandara iru tidak lama, hanya sebentar saja. Tidak sampai berjam-jam, apalagi sampai satu hari.

Walau tnapa disengaj, muncul dalam pikiran dan terucap, " ah, ternyata masalah listrik bukan hanya di Banda Aceh saja, di Yangon juga demikian. Itu adalah kesan pertama yang muncul saat pertama datang dan mengalami kejutan listrik. Kondisi itu,  hebatnya tidak membuat mereka panik. Para petugas dengan sigap tetap melayani dengan baik. Apalagi antrean penumpang memang tidak begitu panjang. Antrean yang terbagi dari penumpang domestik dan penumpang yang berstatus internasional.


 Biasalah ya, saat kita memasuki daerah baru, mata sering melihat ke sana ke mari. Sambil menanti giliran di Imigrasi, mata ku menoleh ke arah luar yang dibatasi kaca. Tentulah mudah melihat dan mengamati orang-orang yang berada di luar runag imigrasi yang sedang menunggu kedatangan para tamu itu. Dari ruang pemeriksaan imigrasi itu, aku agak kaget atau terkejut ketika melihat banyak orang yang berada di luar ruang kedatangan tersebut laki- laki dan perempuan lalu lalang yang berkain sarung.  Aku jadi heran, mengapa mereka berkain sarung sampai ke bandara. 

Rupanya, laki- laki dan perempuan di Yangon dalam keseharian mereka, selalu menggunakan kain sarung yang mereka sebut longjin itu. Tentu tidak akan menjadi pertanyaan, kalau yang menggunakan sarung adalah perempuan, karena kebanyakan perempuan Aceh, maupun luar Aceh menggunakan kain sarung, walau ada laki-laki yang menggunakan kain sarung, penggunaannya hanya saat mau salat atau saat berada di rumah. Juga saat-saat tidur di rumah dan sebagainay. Lain halnya dengan masyarakat di Yangon dan juga mungkin di Myanmar secara umum. Di Yangon, ternyata orang-orang laki-laki itu memakai longjin atau kain sarung. Mereka menggunakannya ke kantor, ke pasar dan kemana saja. Pantas saja kalau para sopir taksi yang sedang mencari penumpang itu juga menggunakan kain sarung alias longjin.

 Kondisi yang sama, juga terlihat di sepanjang jalan menuju ke hotel, tampak orang- orang, baik laki-laki, maupun perempuan yang lalu lalang menggunakan kain sarung alias longjin. Rasa penasaran pun kemudian bertambah. Bahkan ketika tiba  di hotel, juga menemukan hal yang sama. Bahkan dalam kegiatan pertemuan, seminar dan konfrensi pun mereka menggunakan longjin. Aku melihatnya ketika acara pertemuan Forum Action Asia, sebuah jaringan yang terdiri dari individu dan organisasi pembangun perdamaian di Asia Pasifik, yang berlangsung di hotel Mi. Casa, Yangon, tampak peserta yang berasal dari Myanmar menggunakan longjin dan memakai sandal. Jadi, terlihat memang unik dengan tradisi pakaian mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline