Oleh Tabrani Yunis
Waktu sudah menunjukan pukul 00.08 WIB. Sudah larut malam dan bahkan masuk pergantian waktu dari hari Kamis ke hari Jumat. Entah karena baru meneguk segelas kopi Arabika Gayo di Gerobak coffee, dekat POTRET Galery di jalan Prof. Ali Hasyimi Pango Raya, mata saya agak sulit diajak tidur. Karena sedang sulit tidur, saya membuka laptop dan membuka Kompasiana yang sudah lama tidak saya kunjungi dan berkontribusi tulisan di akun saya, Tabrani Yunis. Paling tidak, di kesunyian malam ini, saya bisa mengobati rasa kangen untuk membaca dan menyimak tulisan para Kompasianer yang malam ini masih belum tidur dan juga ingin terus menulis, karena sedang mood menulis.
Ya, sebenarnya saya sendiri juga sedang tidak punya mood yang bagus untuk menulis. Apalagi sudah lama saya tidak menulis dan tidak produktif menulis. Namun, setelah saya login, saya menemukan sebuah tulisan yang memancing dan mengusik pikiran saya. Jadi, ini adalah peluang bagus bagi saya untuk menjemput mood menulis. Sebuah tulisan yang bertengger sebagai headline dan sekaligus pilihan, dengan judul, Sulitnya mencari Guru Teladan dan Guru Berprestasi, ditulis oleh Dedi Dwitagama yang berstatus sebagai pendidik, uru di SMK Negeri 50 Jakarta, Trainer, Blogger dan juga Photografer itu. Bagi saya, tulisan itu menarik. Oleh sebab itu, saya juga memberikan nilai menarik. Tentu saja bukan hanya menarik untuk dibaca dan disimak, tetapi menarik untuk diberikan tanggapan atau respon terhadap tulisan tersebut. Walau malam semakin pekat.
Nah, di awal tulisannya, Dedi Dwitagama menulis begini " Mencari penduduk teladan dan berprestasi di negeri ini seperti mencari jarum di jerami. Isi mass media cetak dan elektronik setiap hari seperti didominasi oleh berita buruk, kejahatan, jarang sekali teladan dan prestasi.
Hal ini mungkin cermin pengelolaan sumber daya guru di sekolah. kalimat itu saya baca berulang-ulang, agar saya bisa memahi apa yang dimaksudkan dalam tulisan itu. Ya, paling tidak, sesuai dengan judul yang diberikan, saya memahami bahwa saat ini sulit untuk menemukan guru teladan dan guru berprestasi. Ada dua sosok guru yang sulit ditemukan, yakni guru teladan dan guru berprestasi. Benarkah sulit mencari guru teladan dan guru berprestasi?
Tentu jawabnya, tergantung dari perspektif dan pemahaman kita tentang guru teladan dan guru berprestasi. Bagi saya, sebenarnya, tidak sulit mencari guru teladan. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya setiap guru adalah teladan bagi anak-anak didiknya. Setiap guru memang harus menjadi guru teladan, tidak boleh tidak.
Teladan adalah tuntutan yang harus dipenuhi setiap guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Sebagai bangsa yang menghargai sejarah, kita selayaknya kembali ingat akan apa yang pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di sini, Ki Hajar dewantara mengingatkan kita, masyarakat Indonesia bahwa guru dalam menjalankan fungsi dan perannya, setiap guru harus mampu memberi teladan kepada murid-muridnya., baik dalam bersikpan dan bertingkah laku, serta tindakan. Jadi, kita tidak perlu lagi mencari guru teladan. Bila selama ini dilakukan pemilihan guru teladan, bisa jadi ini adalah tindakan yang bisa disebut salah kaprah. Lalu, bagaimana?
Ya, diakui atau tidak, semua guru adalah teladan.Karena idealnya semua guru adalah teladan. Itu adalah sebuah keharusan bagi setiap guru. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dari jutaan guru yang ada di Indonesia banyak yang tidak memposisikan diri sebagai teladan, karena berbagai macam persoalan dan latar belakang.
Bisa saja karena kompetensi guru yang rendah, sehingga banyak yang tidak bisa menjalankan peran mereka sebagai teladan. Oleh sebab itu, agar semua guru bisa dijadikan teladan, maka kompetensi guru harus ditingkatkan. Untuk mendorong peningkatan kompetensi guru, maka diperlukan berbagai macam stimulan. Salah satunya adalah memilih guru-guru berprestasi. Ya, sekali lagi bukan guru teladan, tetapi guru berprestasi. Ini perlu karena pemilihan ini bisa mendorong kemamuan guru untuk melakukan self development alias pengembangan diri.
Sayangnya, selama ini pemilihan guru berprestasi berselimak praktek-praktek ketidakjujuran yang dilakukan oleh calon guru berprestasi dan juga oleh panitia pemilihan guru berprestasi. Saya ingat di tahun 2006, saya pernah dikirim untuk ikut seleksi guru berpretasi di tingkat kota. Saat itu, saya terpaksa memilih keluar dari arena pemilihan, karena saat tes tulis berlangsung, saya menyaksikan tindakan tidak jujur peserta.