[caption caption="Ketika Allah berkehendak"][/caption]
Oleh Tabrani Yunis
Jam malam ini, Selasa 9 Februiari 2016, sudah menunjukkan pukul 23.32. Malam terasa semakin larut. Lamunanku melayang pada suatu ketika aku mewawancari keluraga Rangkuti di Meulaboh Aceh Barat, menjelang 10 tahun peringatan bencana tsunami. Lamunan sebelum tidur itu, mengingatkan aku pada kebesaran Allah terhadap keluarga ini..
Ya, aku teringat dan di pikiranku teringat apa keajaban Allah yang diberikan kepada keluarga Rangkuti di Meulaboh beberapa tahun lalu, setelah 10 tahun bencana tsunami menghancurkan sejumlah wilayah pantai Aceh. Ya, tsunami telah meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Peristiwa yang memilukan itu, tidak hanya menghilangkan harta benda, tetapi ratusan ribu nyawa hilang dalam sekejab. Keutuhan keluarga yang sudah bertahun-tahun dibangun dipaksa bercerai berai oleh hempasan ganas gelombang tsunami. Aku diingatkan akan sebuah keluarga yang mendapat bantuan yang terasa sebagai ebuah keajaiban.
Setelah lebih dari 10 tahun bencana itu terjadi, sebuah keajaiban pun dipertunjukkan Allah. Keajaiban yang sungguh mengaduk hati dan emosi. Sebuah kisah yang dalam pikiran banyak orang sudah tak mungkin. Namun ini terjadi. Itulah keajaiban yang didapatkan oleh Jamaliah, seorang ibu paruh baya yang kesehariannya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang menghidupkan keluarga dengan kegiatan menjahit dan membuat kue bersama suaminya, Septi Rangkuti merasa sangat haru-biru. Jamiliah yang biasa disapa Liah, berkulit agak gelap, berpostur tubuh sintal, dengan matanya yang bulat bercerita dengan mata yang berbinar menyatakan rasa syukur kepada Allah, karena Allah telah mengembalikan ke pangkuannya dua buah hati yang hilang ditekan tsunami sepuluh tahun lalu. Sebuah kehilangan yang telah menguras rasa rindu yang sangat dalam. Lalu, tiba-tiba yang hilang itu kembali.
“Saya yakin anak saya masih hidup,” cerita Jamaliah kepada kami di kediamannya di rumah bantuan tsunami tipe 30 milik saudaranya, di desa Panggong, kota Meulaboh, Aceh Barat, Minggu (19 Oktober 2014). Jamaliah dan keluarganya yang saat itu menumpang tinggal di Meulaboh, karena usai tsunami mereka hijrah ke kampung suami di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Sehingga di Meulaboh, mereka tidak mendapatkan rumah bantuan, seperti layaknya korban tsunami lainnya.
“Nah, saat tsunami terjadi,” cerita Liah. Ia sedang mencuci pakaian keluarganya. Sedang anak dan suaminya masih terlelap di kamar masing-masing. Tidak ada kegiatan yang spesial waktu itu. Lalu, seketika, gempa berkekuatan 9,1 SR mengguncang. Ia dan keluarganya sangat kaget dan gelisah. Namun saat itu masih tetap berada di rumah. Liah dan keluarga berkumpul di depan rumah. Layaknya keluarga-keluarga yang lain, rangkaian bencana alam yang diikuti dengan gelombang pasang tsunami tidak ada yang mengetahui.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan orang-orang yang meneriaki air laut naik. Kami tidak tahu dan tidak mengerti, jelas Liah. Seketika itu pula air menerjang Liah dan keluarga dengan cepat. Air laut sudah menghantam dan menenggelamkan desa Liah dan sebagian besar Kota Meulaboh pada gelombang pertama.
“Gelombang pertama itu kami hanyut dan terpisah,” kata Liah. Terpisah dengan dengan suami dan begitu pula dengan anak-anak. Padahal, saat itu, dua orang anaknya, Arief Pratama Rangkuti dan Raudatul Jannah masih berada di pangkuan sang ayah, Septi Rangkuti. Dalam keadaan yang tak menentu, Septi menaikkan kedua buah hatinya itu ke atas papan bekas puing-puing bangunan. Niatnya agar anak-anak tidak hanyut tenggelam. Sementara Liah sudah terhempas ke jalan raya yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Panggong. Tanpa dinyana, Septi pun terpisah dari kedua anaknya. Gelombang tusnami pertama menarik kedua anaknya yang di atas papan ke lautan lepas. Sedang septi terhempas ke lorong Babussalam, dekat terminal bus, ia tersangkut di pohon kuini. Dengan sisa-sisa tenaga, Liah memanjat atap rumah. Disana ia selamat. Begitu pula dengan suaminya, Septi. Ia selamat tersangkut di atas pohon kuini.
Pukul lima sore hari itu, keadaan berangsur tenang. Genangan air tidak membumbung lagi. Liah berjalan menelusuri Kota Meulaboh, berharap menemukan keluarganya. Mayat bergelimpangan sejauh mata memandang. Hampir semuanya meninggal dalam keadaan tidak wajar. Wajar saja, gelombang air raksasa itu tidak hanya air dan lumpur, melainkan besi, besi dan segalanya ada. Alhamdulilah, petang itu, Liah menemukan suami dan anak tertuanya, Zahri Rangkuti. Sementara dua anaknya yang lain, Arief dan Raudatul tidak tahu rimbanya. Mungkin mereka terdampar entah dimana, mungkin juga sudah menjadi mayat, gumam Liah saat itu.