Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Belajar Pada Rumah Ibadah

Diperbarui: 14 Oktober 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dua Rumah Ibadah yang tampak seperti sedinding di Colombo, Sri Lanka"][/caption]

Oleh Tabrani Yunis

Darah kembali tumpah di Serambi Makkah pada hari Selasa 13 Oktober 2015. Tragedi berdarah yang menyebabkan meninggalnya satu orang dari kelompok yang ikut bentrok berdarah di negeri kelahiran Syeh Abdurrauf As Singkili, salah satu ulama besar dari Singkil yang namanya hingga kini menjadi nama Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. Tragedi tumpahnya dan yang menyebabkan meninggalnya satu orang dan selainnya ada 5 orang yang luka-luka, seperti yang disebut dalam berita karena persoalan rumah ibadah yang puncaknya sebuah gereja di desa Suka Makmur, Gunung Meriah, dibakar.

Tragedi ini adalah tragedy yang memilukan dan seharus menjadi pelajaran bagi kita semua. Tragedi ini juga memberikan isyarat kepada kita bahwa sesungguhnya, persoalan solidaritas beragama kita memang belum selesai. Solidaritas masih sebatas pemahaman dan belum pada amalan. Sangat disayangkan, ketika persoalan rumah ibadah, bisa menumpahkan darah. Ya, itu memang kita sayangkan. Namun demikian, ada baiknya akar masalah dari tragedi ini harus diungkap dengan jernih dan jujur. Karena seperti kata orang bijak, ada asap ada api. Kejadian ini pasti ada sebab musababnya. Inilah yang harus dibongkar dengan jelas.

Selain itu, tragedy ini tidak boleh berlarut dan merambat hingga menimbulkan permusuhan massal, permusuhan antar agama. Karena sesungguhnya, apabila tragedy merambat ke mana-mana, maka persoalan akan bertambah panjang, sehingga akar masalah tidak pernah ditemukan dan akhirnya tidak ditemukan pula solusi yang tepat, kecuali permusuhan turunan. Oleh sebab itu, agar persoalan ini selesai dan tidak lagi terulang, semua pihak harus duduk, menahan diri dan emosi, lalu mencari akar masalah, mencari apa factor pemicu, baik secara internal, maupun secara eksternal. Yang penting pasangkan niat yang tulus dan ikhlas untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan cara ini, tidak perlu ada pihak yang melakukan sweeping terhadap masyarakat yang beragama Islam, atau sebaliknya terhadap masyarakat yang beragama Kristen. Sebaiknya tindakan ini dihindari dan dicegah.

Melihat soal rumah ibadah, saya teringat dengan suasana rumah ibadah yang pernah saya lihat. Ya dua atau tiga rumah ibadah yang berdiri berdampingan, namun hingga kini rumah ibadah itu masih tetap berdiri bersama. Peristiwa di Singkil ini mengingatkan saya pada apa yang saya saksikan di kota Colombo, Sri Lanka pada September-Oktober 2009, saat aku ikut acara Action Asia Peace Builders forum di Sri Lanka itu. Ya, di suatu sore, ketika pulang dari menikmati suntset di pantai kota Colombo, saya dan beberapa teman memasuki sebuah tempat atau pasar untuk mencari makanan.

Matahari telah terbenam, karena waktu magrib sudah tiba. Saya merasa tertegun ketika melihat sebuah fakta yang nyata, sebuah masjid yang besar berdiri sejajar dan bahkan bila kita lihat dari pandangan yang sedikit jauh, kelihatannya masjid dan gereja itu sedinding. Saya merasa terharu menyaksikan dua rumah ibadah itu berdiri bergandengan, tanpa ada pancara konflik rumah ibadah.

Saya pun tidak tahu pasti bagaimana kedua rumah ibadah itu bisa berdampingan dengan sangat akrab. Entahlah, saya tidak tahu, karena tidak tahu kepada siapa bisa bertanya saat itu. Namun yang pasti saya melihat dan merasakan ada aroma kedamaian dari kedua rumah ibadah tersebut. Ingin rasanya untuk mencari informasi lebih jauh tentang kerukunan yang tampak secara lahiriah pada dua rumah ibadah tersebut, naamun hingga hari ini saya belum mendapat jawabnya. Tetapi pelajaran penting adalah ternyata dua rumah ibadah bisa berdiri bersamaan, tanpa ada tanda-tanda konflik rimah ibadah.

[caption caption="Masjid di tengah kota Yangoon yang berhadapan dengan gereja dan Pagoda"]

[/caption] Kemudian, ketika saya mendapat undangan untuk ikut kegiatan pertemuan the 5th Action Asia Peace builder forum di Yangon, bulan Oktober 2014 lalu, saya melihat fakta kedua. Kala itu ada kesempatan saya dan teman-teman untuk city tour. Ya, berjalan keliling kota Yangon, seperti pada kesempatan seblumnya di Negara lain, seperti di Siem Reap Kamboja, India, Nepal, Srilanka dan lain-lain, selalu ada kesempatan untuk city tour dan field trip.

Kegiatan ini, membuat peserta mendapatkan rekaman perjalanan di berbagai tempat. Ada yang menjadi hal sangat menarik dan menjadi titik balik bagi saya, ketika melewati simpang tiga di tengah kota Yangon tersebut. Bus yang kami tumpangi saat itu menuju dan melewati simpang tiga tersebut atau bundaran di depan sebuah pagoda, gereja dan masjid.

[caption caption="Pagoda yang berdampingan dengan masjid dan pagoda gereja di Yangoon"]

[/caption] Sebelum tiba di bundaran itu, dari kejauhan ke depan sudah kelihatan Pagoda yang berwarna emas, begitu besar di hadapan kami. Lalu, menjadi mengejutkan adalah ketika saya melihat ke sebelah kiri, berdiri pula sebuah gereja yang lumayan besar. Ya, saya tidak tahu apa nama gereja tersebut. Lalu, di sebelah kanan, tampak pula sebuah masjid yang megah berdiri di tengah kota Yangon itu. Sehingga terlihat ketiga rumah ibadah itu berdiri megah dengan saling berhadapan. Begitu damainya kelihatannya. Padahal, dalam banyak berita, kita ketahui bahwa di Burma ini, sangat tidak solider dan tidak adil terhadap kaum muslim, dan kaum lainnya, kecuali Budha.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline