[caption caption="Semua bisa "][/caption]
Oleh Tabrani Yunis
Tulisannya Christian Kelvianto dengan judul " Berhentilah Menjadi Penulis Latah" yang masuk sebagai highlight dan sekalian menjadi headline Kompasiana hari ini, mengusik pikiran saya. Berkali-kali saya baca tulisan itu dan ingin rasanya memberikan tanggapan, tetapi lebih afdal lewat sebuah tulisan saja. Muncul pula niat itu berkali-kali. Padahal sudah saya endapkan dalam hati, ya sudah, biarkanlah tulisan itu terus menjadi santapan para pembaca, baik yang tercatat sebagai warga Kompasiana, maupun yang kadang sedang mencari referensi lewat mesin Google. Namun, akhir, dorongan untuk memberikan tanggapan lewat sebuah tulisan singkat ini saya tuliskan.
Apa yang membuat pikiran saya tergelitik pertama sekali ketika Christian menjadikan sifat Mbok Atiek yang latah sebagai analogi dalam hal tulisa menulis ini. Tentu ini sangat berbeda dengan latahnya Mbok Atiek dengan latahnya para penulis. Mbok Atiek menjadi latah dengan perilaku yang lucu karena ada orang yang membuat dia latah. Artinya dia menjadi latah ketika ada orang yang membuat dia latah dengan kondisi yang tidak terstruktur, tidak sistematis, tidak beraturan. Yang keluar dari mulut Mbok Atiek juga sangat tidak mengikuti rumus-rumus 5W+ H. Tentu sangat jauh bila kita bandingkan sikap latah itu dengan aktivitas menulis.
Menulis sebagai sebuah ketrampilan berbahasa ( Langguage skill) yang berada pada level lebih tinggi dari kegiatan membaca (receiptive) yakni productive membutuhkan kemampuan berbahasa yang teratur, tersistematis, dan lancar. Juga untuk bisa melakukan aktivitas menulis tersebut seorang penulis harus memiliki kemampuan untuk identifikasi masalah, analisis dan juga tidak membutuhkan kemampuan solusif. Semua serba sistematis. Jadi sebenarnya tidak cocok, kalau seseorang yang menulis mengikuti isu yang sedang berkembang disebut sebagai penulis latah. kalau pun ingin menyebutkan ini tidak elok, maka pilihan katanya adalah penulis yang mengikuti arah angin. Artinya ketika angi berhembus ke barat, ia akan ikut ke barat, ketika angin behembus ke utara, ia akan ikut ke utara. Idealnya seorang penulis itu memiliki sikap konsisten dan memilih spesialisasi dalam satu bidang. Namun untuk tahap pemula, seorang penulis mengikuti semua isu yang sedng berkembang dan dia bisa menulis, tentu tidak ada larangan. Para ekonom,yang sudah lihai menulis, pasti akan memilih mengenai isu ekonomi. Kalau seorang politikus, pasti dia akan memilih spesifikasinya sebagi penulis yang mengikuti isu politik. Jadi tidak usah takut kalau ada penulis yang mengikuti arah angin atau yang mengikuti isu yang sedang hangat atau banyak dibicarakan orang. Apalagi di kampung Kompasiana yang penulisnya dipengaruhi oleh kondisi untuk mendapatkan posisi Highlight dan lebih hebat lagi headline dan tulisan yang tertinggi nilainya. Di kampung Kompasiana ini membiarkan semangat produktivitas menulis yang beragam. ya biarlah mereka menulis. Yang penting mereka mau menulis dan terus berlatih menulis.
Yang ketiga, tidak perlu kita arahkan orang untuk memilih latah, kagetan atau moody. Biarkan mereka melwati tahapan-tahapan menulis dengan baik dan hingga sampai pada suatu kondisi yang matang. Ketika mereka semakin dikenal dan semakin banyak menulis, maka mereka juga akan berfikir dan meniman, kalau nanti setelah lancar dan lihai menulis, lalu mempertimbangkan kualitas tuisan mereka, maka mereka dengan sadar akan memilih menjadi penulis yang profesional, sesuai dengan bidang ilmu atau profesinya, Jadi tiak elok pula kalau kita meminta orang untuk berhenti menjadi penulis Latah. Biarlah mereka terus menulis, apa saja, kapan saja dan dimana saja. yang penting mau terus menulis.[caption caption="Semua bisa menulis"][/caption]
Itulah sekilas tanggapan saya terhadap Christian. Ya anggap saja tulisan ini sebagai oenyambung silaturahmi kita di kampun Kompsiana ini. Satu saran saya kepada semua penulis adalah ketika semakin banyak anda menulis, perhatikanlah kaidah bahasa, gunakanlah kaidah EYD yang sudah kita sepakati bersama.
Banda Aceh, 2 September 2015