Hidup di dunia ini, tentu kita tidak bisa lepas dari dimensi ruang dan waktu. Perjalanan ruang dan waktu adalah keniscayaan, meskipun ada orang yang tidak menginginkannya (baca: ingin selalu berusia muda). Selain pertambahan usia, pergeseran waktu membawa manusia dari ruang dunia lawas, masuk ke dalam dunia baru.
Jika waktu adalah keniscayaan, maka ada pertanyaan yang perlu dijawab. Yaitu, tentang apa sebenarnya waktu dan kapan dimulainya?
Bukanlah perkara mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Para ahli telah mengemukakan berbagai macam teori tentang waktu. Ada yang mengatakan waktu dimulai pada saat terjadinya big bang, yaitu ledakan besar yang menyebabkan terbentuknya tata surya.
Albert Einstein, seorang fisikawan yang namanya tidak asing, mengatakan bahwa waktu itu sesuatu yang relatif. Bahkan ada ahli yang mengatakan, waktu sebenarnya tidak ada!
Pada tulisan kali ini, saya tidak ingin membicarakan waktu dengan dimensi jagat raya, seperti pendapat para ahli diatas.
Saya mau membatasi pembicaraan tentang perjalanan waktu selama 40 hari yang saya alami sebagai orang Katolik, pada masa Prapaskah yang disebut quadragesima (dari bahasa Latin). Saya ingin membahas ini, karena rentang waktu 40 hari mempunyai makna tersendiri, dengan dua alasan berikut.
Pertama, 40 sangat istimewa, karena kita bisa menemukan angka ini digunakan dalam Alkitab beberapa kali.
Misalnya, Nuh terombang-ambing selama 40 hari di dalam bahtera setelah banjir besar melanda dunia. Musa dan Yesus melakukan puasa selama 40 hari. Setelah kebangkitanNya pada hari Paskah yang dirayakan hari ini, Yesus tinggal di bumi selama 40 hari sebelum naik ke surga.
Karena banyak digunakan dalam Alkitab, mungkinkah 40 merupakan angka keberuntungan? Saya tidak tahu jawabannya.
Kedua, quadragesima merupakan masa penting bagi manusia untuk melakukan perubahan hati dan pikiran. Secara konkret, dari yang egosentris (selalu berpusat pada diri sendiri), menjadi hati dan pikiran yang diarahkan kepada Tuhan dan sesama.