Lihat ke Halaman Asli

Lupin TheThird

TERVERIFIKASI

ヘタレエンジニア

Antara Filosofi Sun Tzu, Tiongkok, dan Imperialisme Digital

Diperbarui: 11 Januari 2020   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Sun Tzu (sumber :sonshi-heihou.com)

Pengguna internet (bahasa kerennya netizen) Indonesia heboh (lagi)!
Kali ini tentang kedatangan nelayan Tiongkok yang dikawal oleh kapal penjaga pantai (coast guard) ke zona ekonomi ekslusif (selanjutnya saya tulis ZEE) Indonesia di perairan Natuna.

Sebenarnya saya nggak heran sih. Karena kalau masalah heboh, memang kitalah (termasuk saya, dan mungkin juga Anda) jagonya. Semua urusan baik domestik maupun internasional, kalau bisa dibikin heboh ala netizen, kenapa enggak?

Tentu kita masih belum lupa betapa hebohnya saat Pilpres yang lalu. Kemudian kehebohan tentang Uyghurs (Uighurs), masalah banjir di Jakarta, dan kedatangan nelayan Tiongkok yang sudah saya sebut pada awal tulisan.

Saya tidak akan berspekulasi tentang maksud kedatangan "tamu" yang tidak kita undang itu. Disini saya hanya ingin bercerita tentang suatu filosofi yang mungkin kita sudah mengenalnya dengan baik, kemudian sedikit spekulasi tentang taktik Tiongkok untuk "menguasai" dunia.

Baiklah, saya mulai dari Sun Tzu.

Sun Tzu (atau Son-shi dalam bahasa Jepang) adalah buku dengan komposisi 13 bab berisi tentang taktik perang. Menurut penelitian terakhir, buku ini ditulis oleh orang yang bernama Sun Wu (Son Bu dalam bahasa Jepang).

Hal-hal pokok dalam Sun Tzu mulai ditulis sekitar 500 tahun sebelum masehi. Jadi kalau dihitung-hitung, semua ide yang tertulis disana sudah berusia lebih dari 2500 tahun!

Buku yang ditemukan dan menjadi referensi kita saat ini, sudah banyak ditambah dengan berbagai macam penjelasan oleh beragam orang. Kemudian buku juga sudah banyak diperbaharui disana-sini, dan mulai diatur sehingga tersusun dalam bab demi bab.

Secara umum, semua taktik yang tertulis pada Sun Tzu sebenarnya mempunyai satu tujuan. Yaitu bagaimana cara memenangkan peperangan dengan tidak berperang.

Kelihatannya, menang tapi tidak perang adalah dua hal yang bertentangan. Tetapi kalau dipikir-pikir dengan dua alasan dibawah ini, logis juga sih.

Pertama, dalam adu kekuatan (perang) secara fisik, bukan hanya pihak yang kalah saja bisa menanggung kerugian. Pihak yang menang pun menanggung kerugian. Seperti kita mengenalnya dengan peribahasa "kalah jadi abu, menang jadi arang".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline