Lihat ke Halaman Asli

Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

BBM Ramah Lingkungan dan Langit Biru

Diperbarui: 17 September 2020   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI 

Selama pandemi Covid-19, terutama saat pelaksanaan lockdown atau minimal PSBB, langit cakrawala di kota kota besar dunia tampak lebih biru, dan cuaca pun terasa lebih segar. Termasuk di Jakarta, dan kota kota besar lainnya di Indonesia. Namun setelah lockdown dan PSBB dicabut, dan masyarakat kembali melakukan aktivitas New normal, langit cakrawala kembali menghitam, seperti ada selaput yang melingkupinya. Itu semua adalah dampak dari penggunaan BBM yang digunakan oleh masyarakat, terutama via kendaraan bermotor pribadinya. Semakin baik kualitas BBM yang digunakan semakin kecil dampaknya terhadap lingkungan, dan sebaliknya. Dan puncaknya masifnya penggunaan BBM (yang berkualitas rendah) adalah menghasilkan emisi gas buang (gas karbon) yang memicu perubahan iklim global, atau global climate change. 

Fenomena perubahan iklim global (Global Climate Change), kini menjadi perhatian oleh seluruh warga dunia. Bukan hanya oleh pemerintah suatu negara saja, tetapi juga seluruh kekuatan masyarakat sipil. Semua stakeholder bahu-membahu memerangi fenomena perubahan iklim global tersebut. Sebab tanpa diperangi bersama, alam dan seisinya kian rusak bahkan hancur oleh perilaku manusia yang melahirkan dampak perubahan iklim global itu. Dan kerusakan/kehancuran alam oleh dampak perubahan iklim global ini akan mewujudkan berbagai krisis, seperti krisis lingkungan, krisis pangan, krisis energi, krisis air bersih, dan endingnya adalah krisis kemanusiaan (dehumanisasi).

Menyikapi hal ini pemerintah sejatinya tidak tinggal diam, buktinya pada 11/2015 Presiden Jokowi nglurug ke Paris, untuk menghadiri dan sekaligus menandatangani Paris Protocol, terkait kesanggupannya mereduksi emisi gas karbon. Bahkan Pak Jokowi begitu pede, dalam komitmen yang ditandatangani itu. Presiden Jokowi menyorongkan kesanggupannya untuk mengurangi emisi gas karbon antara 29-40 persen pada 2050. Komitmen Presiden Jokowi oleh banyak pihak dianggap over confidence, alias sulit dicapai apa yang dijanjikan itu.

Bahkan sebelum hiruk-pikuk soal global climate change, 24 tahun silam, sejatinya pemerintah Indonesia sudah lebih dahulu menggagas kebijakan yang spiritnya sama, yaitu via instrumen kebijakan Program Langit Biru. Program ini digawangi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, via Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 1996.

Spirit Program Langit Biru adalah upaya untuk mengantisipasi adanya krisis lingkungan, khususnya polusi udara, yang dicetuskan oleh multi sebab, baik karena benda/barang tidak bergerak, dan atau benda/barang bergerak. Benda tidak bergerak seperti aktivitas bisnis, perkantoran, industri, pembangkit listrik (khususnya PLTU), dan juga aktivitas domestik rumah tangga, termasuk membakar sampah. Adapun sumber pencetus benda/barang bergerak adalah sektor transportasi darat.

Saat ini sektor transportasi darat bahkan berkontribusi sangat dominan/signifikan yaitu lebih dari 75 persen sebagai sumber polusi udara, khususnya di kota-kota besar. Begitu dominannya sektor trsnsportasi darat berkontribusi terhadap polusi udara, dan menjadi penentu terwujudnya Program Langit Biru, maka Menteri Lingkungan Hidup mengelaborasi dalam sebuah kebijakan berupa Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup No. 141 Tahun 2003 yang intinya mengatur ambang batas emisi kendaraan bermotor, yang harus menggunakan BBM jenis Euro 2.

Dari gambaran di atas, ada beberapa catatan utama yaitu; pertama, bahwa concern pemerintah terhadap masalah pencemaran udara dan upaya penanggulangannya sudah berlangsung sejak lama. Setidaknya sudah 24 tahun lalu, sejak ditelurkannya program langit biru. Kedua, bahwa pencetus pencemaran udara sangat beragam, dari berbagai sumber. Namun jika merujuk pada data empirik yang ada, maka faktor bahan bakar minyak menjadi kontributor utama, lebih dari 75 persen. Dan sejatinya dalam hal ini pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup sudah cukup tanggap, yakni dengan dikeluarkannya Kepmen LH No. 141 tahun 2003, bahwa untuk mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor, maka jenis BBM yang digunakan harus berstandar Euro 2.

Dari sisi spesifikasi, BBM standar Euro 2 adalah beroktan 92 seperti pertamaks, dan CN 51 seperti Pertamina Dex (jenis diesel). Dan ketiga, ini yang ironis, kebijakan yang bagus dan visioner itu sepertinya mati suri, tak jelas juntrungannya, hingga kini. Untuk mempertegas poin ketiga indikatornya jelas, yaitu; upaya pemerintah untuk mewujudkan program langit biru berjalan di tempat, bahkan stop sama sekali. Antar kementerian dan lembaga tidak jelas, tidak ada koordinasi dan sinergi serius. Terutama menyangkut jenis dan kualitas BBM, terkhusus soal BBM jenis Euro 2 tersebut.

Lihatlah, kewajiban bahwa kendaraan bermotor pribadi sejatinya sejak 2003 harus menggunakan BBM berstandar Euro 2, seperti pertamaks, dan sejenisnya. Tetapi di pasaran membuktikan lain, bahwa serapan konsumsi BBM berstandar Euro 2 masih sangat sedikit. Jenis BBM yang dibuat, dipasarkan dan dikonsumsi konsumen masih jenis premium dengan oktan number (RON) 88, atau pertalite dengan RON 90. Padahal kedua jenis BBM ini jelas bukan tipe Euro 2, bahkan Euro 1 saja belum lulus. 

Belum tuntas urusan BBM standar Euro 2, Kementerian KLHK pun sudah memandatkan bahwa jenis BBM yang digunakan mulai 2017 harus berstandar Euro 4, yakni via Kepmen KLHK No. 20 Tahun 2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline