Belakangan ini, Gen Z sering jadi headline. Salah satu alasannya? Pemecatan massal. Bahkan, Bappenas sampai menyoroti masalah ini, menyebut lemahnya soft skill generasi ini sebagai salah satu penyebab utama. Alumni universitas pun angkat bicara, mengkritisi motivasi, profesionalisme, komunikasi, hingga kemampuan pemecahan masalah kaum muda ini. Mirisnya, Gen Z juga sering dianggap "kaum rebahan" yang hidupnya tak jauh dari layar gadget. Tapi, benarkah Gen Z hanya sekadar "zonk" di dunia kerja? Yuk, kita bedah bersama.
Gen Z: Generasi Digital, Tantangan Sosial
Lahir di era teknologi, Gen Z tumbuh dengan akses internet 24/7. Media sosial jadi "rumah kedua," tapi sayangnya, ini sering mengurangi kemampuan sosialisasi offline. Ketika tiba di dunia kerja, ekspektasi terhadap mereka tinggi, namun praktiknya sering tak sesuai harapan.
Dari sudut pandang filosofis, Friedrich Nietzsche pernah bilang, "Manusia adalah makhluk yang bisa melampaui dirinya." Artinya, potensi kita bisa terus berkembang. Gen Z, meskipun terlihat "zonk," sebenarnya punya peluang besar untuk bangkit dan membuktikan diri.
Apa yang Salah?
Sebagai mahasiswa, Gen Z punya waktu 4-5 tahun untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja. Namun, kenapa masih banyak yang terjatuh? Ada dua kemungkinan besar:
1. Kurang Fokus: Sibuk kuliah tanpa mendalami soft skill. Bahkan, sebagian malah lebih sibuk scroll TikTok daripada latihan presentasi.
2. Tekanan Mental: Dunia kerja berbeda dengan kampus. Tekanan mental bisa bikin mereka merasa asing atau kehilangan kepercayaan diri.
Soft Skill: Tiket Bertahan di Dunia Kerja
Soft skill itu seperti "senjata rahasia." Mau seberapa jago pun hard skill-nya, tanpa ini, sulit untuk bertahan. Tiga indikator utama soft skill yang perlu Gen Z kuasai:
Komunikasi: Jangan cuma jago chatting! Kemampuan berbicara di depan umum, mendengarkan aktif, dan menulis profesional itu penting.