Lihat ke Halaman Asli

david

Kesederhanaan

Esensi

Diperbarui: 15 Oktober 2024   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemberian gelar akademik oleh lembaga pen-didikan kepada tokoh publik banyak dibicarakan masyarakat. Ketidaksetujuan pemberian gelar ini bukan karena rasa ketidakadilan, tetapi lebih ke-pada esensi dari gelar tersebut. Wajar bila sese-orang yang menggeluti bidang tertentu dalam pendidikan selama beberapa tahun kemudian mendapat gelar akademis sesuai bidangnya. Gelar akademis adalah pengakuan atas apa yang telah digelutinya dalam bidang tertentu, dan menjadi hasil akhir dari usahanya. Jadi, tidak bisa dibalik---usaha mendahului penghargaan.

Dalam filsafat, esensi sering dikaitkan dengan "hakikat" atau substansi utama yang mendefinisi-kan keberadaan sesuatu. Pemberian gelar akademik harus selaras dengan esensinya. Esensi pendidikan adalah tentang pengetahuan, pemikiran kritis, dan pengembangan individu. Jika lembaga pendidikan mulai memberikan gelar tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ini, maka esensi pendidikan itu sendiri mulai tergeser. Lalu, apakah pemberian gelar aka-demik kepada tokoh politik benar-benar mencer-minkan nilai esensial dari pendidikan? Ataukah ada faktor lain yang lebih berpengaruh, seperti kekuasaan atau status politik?

Lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menjaga esensi pendidikan, yang harus tetap berfokus pada kontribusi intelektual, bukan pada popularitas atau kepentingan politik. Apabila gelar diberikan kepada tokoh politik karena pertimba-ngan di luar pendidikan, esensi pendidikan dapat ternodai. Gelar akademik bisa berubah menjadi simbol status daripada bukti atas pencapaian akademik. Fenomena ini mengarah pada perta-nyaan yang lebih luas: Apakah kita menghargai pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, atau hanya sebagai simbol yang bisa diberikan kepada siapa saja?

Selain itu, dalam konteks politik, seorang tokoh mungkin mencari legitimasi atau kredibilitas tam-bahan melalui gelar akademik. Hal ini bisa meng-gambarkan adanya masalah dalam esensi kepe-mimpinan politik saat ini, yang lebih berorientasi pada pengakuan formal daripada substansi kepemimpinan itu sendiri. Di sinilah kita bisa melihat interaksi antara pendidikan dan kekuasaan. Apakah gelar tersebut benar-benar meningkatkan kualitas kepemimpinan, atau hanya memberikan legitimasi yang artifisial?

Dari sudut pandang psikologi, fenomena ini bisa dihubungkan dengan inferiority complex, yaitu kondisi di mana seseorang merasa kurang atau tidak sebanding dengan orang lain, meskipun dari segi prestasi, karier, atau status sosial sudah berada di puncak. Jika demikian, gelar akademik hanya berfungsi sebagai aksesori, sekadar "hiasan" untuk menutupi rasa kurang percaya diri. Gelar ini mung-kin tidak menambah nilai substansial bagi tokoh tersebut, tetapi lebih sebagai penyeimbang citra publik. Jika esensi pendidikan dilihat hanya sebagai aksesori, maka terjadi pergeseran makna dari sesuatu yang substantif menjadi sekadar simbolis.

Di dunia seni, esensi juga penting dalam menilai karya atau pencapaian seorang seniman. Sama se-perti gelar akademik, apresiasi terhadap seni se-harusnya datang dari nilai intrinsik karya itu sen-diri, bukan dari status atau posisi sosial seniman-nya. Dalam hal ini, seni memiliki kesamaan dengan pendidikan: keduanya memiliki esensi yang dapat dinodai jika makna substansialnya dikorbankan demi simbolisme semata.

Dalam dunia AI, misalnya, esensi teknologi adalah kemampuannya untuk memproses data dan menyelesaikan masalah. Namun, jika AI dipakai hanya untuk tujuan memperkuat citra atau sekadar menunjukkan kemajuan teknologi tanpa memper-timbangkan dampak positifnya pada masyarakat, esensi AI sebagai alat untuk kemajuan juga bisa terdistorsi.

Sehingga, dalam konteks pendidikan, politik, seni, dan bahkan teknologi seperti AI, menjaga esensi adalah tentang memastikan bahwa tujuan utama dari setiap sistem atau pencapaian tidak tereduksi menjadi sekadar simbol atau aksesori belaka. Dengan demikian, esensi harus selalu menjadi dasar pertimbangan dalam setiap peng-hargaan, termasuk gelar akademik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline