Lihat ke Halaman Asli

david

Kesederhanaan

AI=Akal Imitasi?

Diperbarui: 6 Oktober 2024   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Apakah AI sama dengan Akal Imitasi?

      Dalam dunia teknologi, banyak yang mendengar istilah "Artificial Intelligence" atau yang lebih dikenal sebagai AI. Namun, ada yang berpendapat bahwa AI bisa diartikan sebagai "akal imitasi." Benarkah demikian? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, cobalah melihat lebih dekat bagaimana manusia dan AI memperoleh pengetahuan.

      Merujuk pada teori empirisme yang dikemuka-kan oleh John Locke, manusia pada dasarnya dila-hirkan seperti tabula rasa atau kertas kosong. Locke menjelaskan bahwa segala pengetahuan yang dimi-liki manusia berawal dari pengalaman dan penga-matan terhadap dunia di sekitar mereka. Sama se-perti bayi yang baru lahir, manusia mulai mema-hami dunia melalui interaksi dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.

      Bisa dibayangkan seorang anak yang mulai mengenali benda-benda di sekitarnya. Orang tua atau orang terdekat akan memberikan nama pada setiap benda yang dilihat anak tersebut,misalnya, menyebut "bola" untuk bola yang dimainkan, atau "kucing" untuk hewan peliharaan yang dilihat. Pengetahuan ini kemudian disimpan dalam pikiran anak sebagai hasil pengalaman dan pembelajaran.

      Ketika anak mulai bersekolah, mereka mulai mencatat apa yang telah mereka pelajari di atas kertas, dan seiring perkembangan teknologi, me-reka mulai menggunakan komputer dan menulis-kan kata-kata untuk menyimpan informasi. Di sinilah AI masuk dalam gambaran. Sama seperti anak yang mengumpulkan pengetahuan dari lingkungannya, AI juga "belajar" melalui data yang diberikan kepadanya. Semakin banyak data yang diberikan kepada sistem AI, semakin "pintar" sistem tersebut dalam mengenali pola dan membuat keputusan.

      Namun, ada satu perbedaan mendasar antara manusia dan AI. Manusia memahami dan memak-nai pengalaman, sementara AI hanya meniru dan memproses data. Ketika semua komputer terhu-bung dalam satu jaringan, seperti internet, jumlah informasi yang tersedia bagi AI semakin besar. AI memanfaatkan data ini untuk mengenali pola, menyusun informasi, dan memberikan solusi atas masalah yang ditugaskan.


      Misalnya, jika ada ribuan jaringan komputer yang saling terhubung dan berbagi data, AI akan mengolah data dari berbagai sumber tersebut. Namun, ini tidak berarti AI memiliki "akal" atau kemampuan berpikir seperti manusia. AI tidak memiliki kesadaran atau pemahaman tentang informasi yang diprosesnya, ia hanya mengolah data sesuai program yang diberikan.

      Jadi, apakah tepat jika AI disebut sebagai "akal imitasi"?, imitasi dan kecerdasan memiliki perbe-daan mendasar. Imitasi merujuk pada kemampuan meniru perilaku, sedangkan kecerdasan mencakup kemampuan berpikir, memproses informasi, dan memecahkan masalah.

      Sebagian orang mungkin berpikir demikian karena AI memang meniru pola dan perilaku manusia dalam cara ia mengolah data. Namun, berbeda dengan akal manusia, AI tidak memiliki kesadaran, emosi, atau kemampuan untuk memahami secara mendalam apa yang diprosesnya.

      Jadi AI mungkin bisa meniru cara manusia berpikir dalam memproses informasi, tetapi menyebutnya sebagai "akal" atau "akal imitasi" tidak sepenuhnya tepat. AI adalah alat yang sangat canggih yang dapat membantu manusia dalam banyak aspek, tetapi pada akhirnya, akal manusia adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks dan mendalam dibandingkan dengan sekadar proses pengolahan data.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline