Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Tak dipungkiri, teknologi yang terus berkembang telah memberikan banyak kemudahan bagi masyarakat. Internet misalnya, hal ini menjadi sebuah ruang baru bagi manusia untuk berbagi informasi dan berinteraksi. Dengan internet, kita dapat mengakses segala informasi di seluruh dunia. Bahkan, ada yang menyebut bahwa internet merupakan teknologi yang melampaui dimensi kehidupan, waktu, dan ruang manusia karena dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Salah satu produk internet yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah media sosial. Berdasarkan data dari We Are Social dan Hootsuite, tercatat jumlah pengguna media sosial di dunia mencapai 5,04 miliar orang pada Januari 2024 lalu. Berarti, 62,3% populasi di dunia telah menggunakan media sosial. Ini tentu bukan angka yang sedikit. Dapat disebut manusia sedang digandrungi oleh teknologi internet media sosial.
Penggunaan media sosial ini menumbuhkan fenomena-fenomena komunikasi baru di tengah masyarakat. Platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan X bersifat sangat luas sehingga memungkinkan penggunanya untuk saling berkomunikasi dari banyak arah. Profil yang tampil di media sosial juga dapat diubah sesuai dengan keinginan penggunanya. Jadi pengguna secara bebas mengatur identitas nya mengenai apa, siapa, dan bagaimana ia akan dikenal oleh publik di dunia digital. Hal ini menimbulkan sebuah fenomena yang cukup banyak ditemui di platform-platform media sosial, yaitu munculnya sebuah akun yang bersifat anonim.
Anonimitas sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti 'tanpa nama' (Chawki, 2008). Dalam hal ini, akun anonim adalah akun yang penggunanya menyamarkan atau tidak menggunakan identitas aslinya di media sosial. Penggunaan akun anonim sendiri memiliki berbagai tujuan, tak jarang beberapa pengguna menggunakan akun anonim ini untuk lebih ekspresif dalam menyampaikan pendapatnya di dunia digital namun tidak ingin orang lain mengetahui identitas aslinya. Dengan menggunakan akun tanpa identitas asli, seorang pengguna akan lebih bebas dan percaya diri dalam menulis, berkomentar, dan memberikan pendapatnya di dunia digital tanpa takut akan sanksi sosial yang akan diterima olehnya.
Di beberapa platform media sosial sendiri seperti Twitter dan Instagram, fenomena anonimitas ini dapat dilihat di akun-akun berbentuk base. Base ini disebut sebagai akun pengungkapan ekspresi atau perasaan. Akun base ini dapat menyampaikan pendapat atau opini dari para pengikut atau followers akun tersebut kepada publik namun dengan identitas anonim. Tujuannya sendiri memang untuk menciptakan kebebasan berpendapat dan kritik sehingga cara mengirimkan opini itu dengan cara direct message atau pesan pribadi kepada akun base, kemudian akun base itulah yang secara otomatis mempublikasikan opini tersebut tanpa mencantumkan identitas asli pengirim opini. Ini membuka kesempatan bagi semua pengguna untuk menyampaikan pesannya tanpa perlu takut diketahui identitas aslinya.
Fitur anonimitas ini dipercaya memberi dampak positif bagi pengguna media sosial. Hal ini dikarenakan komunikasi dengan identitas anonim dianggap sebagai hal yang mendukung kebebasan berpendapat. Anonimitas dapat menjadi penyelamat bagi pengguna atau komunitas yang rentan. Terkadang, memposting secara anonim dapat memungkinkan penggunanya untuk berdiskusi secara terbuka dan menghadapi permasalahan dengan aman. Contoh yang biasa terjadi di Indonesia adalah anonimitas dalam praktik demokrasi. Pengguna biasanya menggunakan identitas anonim dalam menyampaikan kritiknya, dan anonimitas inilah yang dapat melindungi dari hal-hal lain yang membahayakan dirinya. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Pew Research Center pada tahun 2013 yang mengungkapkan bahwa 86% pengguna internet menjadi anonim dalam menyampaikan pendapat atau kritiknya di dunia digital, dan setidaknya telah mencoba menutupi identitas mereka dari pelacakan.
Namun di sisi lainnya, anonimitas memunculkan permasalahan lainnya mengenai transparansi dan pertanggungjawaban atas apa yang disampaikan di dunia digital. Media sosial dan anonimitas yang menawarkan kebebasan berekspresi ini dijadikan "tameng" agar bebas mengungkapkan apapun tanpa perlu mempermasalahkan konsekuensi. Tak jarang rasa aman dari identitas tersembunyi ini justru membuat penggunanya melupakan batas-batas etika, empati, dan kebebasan berekspresi dan menimbulkan perilaku anti-normatif, anti-sosial, dan agresif seperti cyberbullying. Berdasarkan data dari Broadband Search tahun 2020, setidaknya 36,5% pengguna media sosial pernah menjadi korban cyberbullying, dan angka ini terus berkembang dari tahun ke tahun. Pelaku yang menyampaikan pesan-pesan seperti ini seakan tidak sadar akan pengguna lain yang berinteraksi dengan mereka adalah manusia lain yang juga memiliki perasaan.
Dalam permasalahan ini, dapat disebut bahwa anonimitas menyediakan wadah untuk menyakiti orang lain dengan cara bersembunyi. Pengguna akun anonim tidak akan menerima sanksi atau hukuman dari apa yang mereka katakan di media sosial. Bisa saja opini, cercaan, atau komentar negatif yang mereka sampaikan di dunia digital hanya sekedar sebuah kata-kata yang mereka tulis. Namun, bagi pihak lainnya yaitu sang korban tentu kata-kata tersebut akan menyakiti hati, bahkan lebih jauh dapat mengacaukan kehidupannya.
Lalu, apakah menjadi anonim merupakan sebuah hal yang salah? Dari uraian di atas, memang benar bahwa menjadi anonim merupakan salah satu langkah dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi seluas-luasnya. Namun jika mempertimbangkan sisi negatifnya, penting juga untuk membangun sikap integritas. Menjadi anonim adalah pilihan, namun sebagai pengguna kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita sampaikan di dunia digital. Memang benar, tidak semua opini, pendapat, dan komentar bersifat menyenangkan. Namun perlu diperhatikan juga, bahwa semua pengguna di media sosial merupakan manusia yang juga memiliki hati. Sama dengan kita sendiri. Sebelum mengetik dan mempublikasikan, coba pertanyakan pada diri sendiri,
"Apakah layak komentar ini dibaca oleh orang lain?"
"Apakah kata-kata ini dapat membangun orang lain, atau justru menyudutkannya bahkan menjatuhkannya?"